Sabtu, 29 Januari 2011

TERLALU PAGI MENYIMPAN HARAP


malam mengalir deras,
dalam sisa gigil mata hujan senja tadi
diam, pendar rembulan menangkap genangan kenangan
saat badai menghempasmu pada titik nadir yang terdalam
dadaku jadi sandaran tumpahan sesalmu, tentramkan hati
disela kerinduan yang mengangkangi sepi
kembali ku coba mengumpulkan sisa kepingan diri yang berserak
kemudian menatanya dalam ketetapan hati
sebab dirimu, hanya jadikan aku tumpahan sesalmu
sedangkan aku sendiri,
tak cukup kuat menahan beban mu juga rasa cintaku padamu
salahku sendiri yang selalu terbawa rasa
sehingga membuatku selalu membawah lukisan hati yang selalu basah
sekarang aku yang sibuk sendiri membersihkan lunturnya
karena diguyur rinai kepedihan dalam perjalanan siang tadi
haruskah ku tata dan ku lukis lagi lukisan lain
dalam kanvas kehidupanku?, dengan meretas airmata lagi
haruskah aku berdialog dengan hati!
kemudian menatanya dalam pigura hati lain  tanpa sepimu
sedangkan aku sendiri tak cukup kuat menanggung karma mu
hanya karena aku terlanjur mencintaimu

aihhhh aku ambigu, ………

TANYAKU UNTUK MU PEMIMPINKU


Hari ini Pemimpin negeri mimpi berkata
“ gajiku tak naik_naik, meski yang lain terus naik,
Yang kubutuhkan bagaimana rakyatku sejahtera”
Makna ambigu  yang sarat pesan, membuat siapapun terkesan

Hadirkan sejuta tanya lugu jelata yang pasrah dalam tuntunan mu
Bagai kerbau di cocok hidungnya
Si poltakpun berkolaborasi dengan badut_badut negeri
Bernyanyi dan berlakon bersama dalam talk show televisi negeri
Diantara  senyuman nakal dan toast  anggur kemenangan
Menebar sejuta pesona, sisipkan berjuta jerat, seakan membenarkan mu
Membuat rakyatku mabuk  dan luruh dalam gengaman

Namu satu hal yang ku ingat
Setelah berbagai badai dan krisis melanda negeriku
Kamu pandai mengemas sejuta ratap dan derita
Terbungkus rapi dalam sejuta pesona
Demi kelanggengan tahkta mu,
Kau luruskan frase_frase kehidupan yang tak pernah ku pahami

Banyak hikmah yang terpetik dari balik ketelanjangan ini
Di sini, Di dinding kamar ini, egoku  kau telanjangi
Dengan hadirnya  tanya baru dalam labirin kehidupan
Benarkah demikian ?????, Ataukah aku sendiri
Yang memanfaatkan keadaan ini untuk menyiasati hidup dengan sejuta dalih

Tapi satu hal yang pasti, Apapun alasan mu 
Kita tak akan pernah bisa menghakimi karena kita hanya jelata
Juga sempurna bukan milik kita, hanya milik Dia Sang Pemeberi Hidup
Dan hanya Dialah yang tahu pasti,…………..
Apa gerangan yang terjadi saat ini.

Jumat, 21 Januari 2011

My Home Town Slideshow

My Home Town Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ My Home Town Slideshow ★ to Indonesia by Penyair Kesepian. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"

BADAI DI NEGERIKU



Ketika musim mengirimkan suar menebar badai
Tanah,api,air dan udara bersatu
Melelehkan azab berbisa
Pun maut selalu mengintip setiap nyawa
Mengisi segala celah ruang,
Zaman, musim, dan siklus waktu
Yang tak pernah terukur oleh apapun dan siapapun
Kita masih saja sibuk
Mewarnai hidup dengan keserakahan dan kezoliman
Bukannya menanak bekal merayu doa
Agar sirna segalah bahaya yang mengancam
Kita memang telah buta membaca jejak sejarah
Sehingga selalu tersesat arah
Sadarlah, lucuti kebatilan
Simaklah deru sejarah dalam nurani murni
Selalulah berdoa dan bersekutu dalam amal dan ibadah
Agar musim tak lagi murka
Pun mahkluknya tak lagi rusuh
Sebab hidup kita hanya titipan Sang Ilahi

Selasa, 18 Januari 2011

JALANG KU



ku  tak akan pungkiri
sintal tubuhmu memaksaku lari dalam pelukanmu
resah menyergapku bersetubuh dalam desah berbisa
tangan_tangan malam, kekar mengerayangi aura liarmu
menggali lubang dan menguburkan mentari retak

mata binalmu beriak getarkan degub gelombang hasrat
aku terdampar mengeliat pada bibir pantai mu
sauh biduk ku bergetar pada liang lautmu, menggeliatkan sunyi
rebahkan ombak gairah, pecahkan karang
aku terdampar pada gelambir lunak kelamin ubur_ubur
mengalir tenang terengut hanyut pada kegatalan eksotik

jiwa yang gelisah pewaris remah_remah kehidupan
berselingan menayangkan terang dan temaram
seakan harap, hadir, lenyap dan berselisih dengan sedih
sebab petualang telah mengangkangi puing_puing surga
merengkuh maut, demi birahi berdenyut