Senin, 09 Juli 2012

CATATAN KRITIS PERMENDAGRI NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

Kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengatur dan mengurus Rumah Tangganya sendiri telah diatur dalam UU no.32 Tahun 2004. Namun kewenangan ini bukan absolute semata dimana merupakan hak prerogative Daerah, tetapi harus sinkron dengan kebijakan pusat. Untuk  itu penyelenggaraan pemerintahan, Eksekutif bersama Legislatif menyusun arah dan kebijakan umum yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan skala prioritas pembangunan dan Renstra (Rencana Strategis) dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Untuk mengukur apakah APBD tersebut berpihak pada kepentingan publik dalam realitasnya agak tersamarkan antara kebijakan publik dengan kebijakan yang bukan publik. Maka, kebijakan publik harus didefinisikan operasional, sehingga definisi operasional ini menjadi acuan, prinsip dan sikap dalam hal kebijakan publik.
Oleh karen itu, kebijakan publik harus didefinisikan sebagai suatu kebijakan yang content-nya adalah untuk kepentingan publik dalam ranah publik. Substansi publik ini pun harus didefinisikan sebagai kebijakan yang mempunyai nilai kepentingan untuk publik, bukan untuk segelintir oknum, organisasi dan atau kelompok tertentu. Kebijakan publik harus menyentuh dan bersentuhan dengan semua pihak dalam lapisan masyarakat dari sisi manfaat dan juga peruntukannya. Sekalipun tak terbantahkan, bahwa kebijakan publik adalah produk keputusan politik dan bersifat politis. Untuk itu, proses kebijakan publik harus paham benar tentang Formulasi masalah, penentuan kebijakan, implementasi kebijakan, juga evaluasi kebijakan. Sehingga kebijakan yang diambil oleh Kepala Daerah benar benar merupakan kebijakan prioritas kepentingan public bukan kepentingan organisasi atau pribadi semata.
Jujur kebanyakan kebijakan publik tersebut merupakan produk politik dan bersifat politis, maka kebijakan publik tersebut harus dikawal, dikritisi, dievaluasi dan dimonitoring mulai dari awal proses pembuatan kebijakan publik sampai dengan pelaksanaan atas kebijakan tersebut. Apabila kebijakan publik tersebut tidak diperdulikan, sangatlah pasti keputusannya tidak akan menjadi kebijakan publik, karena para pemimpin kita (baca; Eksekutif dan Legislatif) lahir dari masyarakat yang sakit dan buruk mentalitas, sehingga hanya akan menghasilkan pemerintahan yang korup dan mentalitas birokrasi yang korup pula.
                        APBD Politik dan Mempolitiki
APBD merupakan arah dan kebijakan umum yang bersifat mengikat untuk kepentingan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Rencana, program dan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus tertuang dalam APBD yang berkaitan dengan penggunaan anggaran. Maka, struktur APBD (Permendagri No. 13/2006 psl 22 jo Permendagri No. 58/2007) merupakan satu kesatuan terdiri dari:
  1. Pendapatan Daerah.
  2. Belanja Daerah
  3. Pembiyayaan Daerah 
Mencerdasi struktur APBD tersebut, maka kita bisa melihat apakah APBD tersebut berpihak kepada publik (masyarakat) ataukah publik dijadikan umpan dan sandaran untuk kepentingan segelintir orang per orang, kelompok tertentu dan atau kepentingan politik Eksekutif   (Bupati/Wali Kota/Gibernur) dan Legislatif (DPRD).
Jika belanja Rutin berbanding terbalik dengan belanja Publik, maka APBD tersebut mempunyai keperpihakan kepada kepentingan publik (rakyat). Tetapi, jika APBD, di mana belanja publik (belanja modal atau belanja pembangunan) lebih kecil dari belanja pegawai dan belanja barang dan jasa (belanja rutin), maka APBD tersebut tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.
Eksekutif dan Legislatif tidak berpihak pada kepentingan publik, melainkan lebih memprioritaskan kepentingan politik. Hal ini menunjukkan bahwa Legislatif yang seharusnya mempunyai peran dan fungsi Legislasi, budgeter dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan telah runtuh dari bangunan pilar demokrasi. Hal ini terjadi hampir pada semua daerah. Sehingga, APBD yang merupakan arah dan kebijakan umum tidak berorientasi terhadap skala prioritas pembangunan yang substansial.
Dihampir setiap daerah pula, APBD memanipulasi, dengan mengeksploitasi kemiskinan, termasuk desa tertinggal, sekaligus dengan berbagai keberhasilan manipulatif, sehingga DAU, DAK, dan berbagai program dana stimulus dari pusat bisa mengalir ke daerah dengan berbagai cara. Di sisi lain, APBD mulai dari proses rangka perencanaan, penyusunan program dan kegiatan sampai dengan realisasi anggaran menjadi manipulatif dan termanipulatif, sekalipun telah melalui prosedur dan mekanisme apa yang disebut dengan Musrenbang (Musrenbangdes, Musrenbangcam dan Musrenbangkab) rakorbang, dan jaringanjaringan asmara lainnya, dengan pembahasan  yang melibatkan steckholder dan elemen-elemen (baca: LSM plat merah, akademisi yang melacur dan aktivis oportunis) masyarakat lainnya.
Pada sisi yang lain, APBD kemudian memanipulasi ruang publik (baca: rakyat) dengan berbagai program dan kegiatan yang berumah di atas angin, seperti bantuan sosial, hibah, program dan kegiatan sosialisasi, pemberdayaan, pembinaan mutu, evaluasi, monitoring, bahkan pembangunan infrastruktur atau pisik.
Oleh karenanya, jika kondisi Legislatif  sudah demikian, maka fungsi pengawasan terhadap APBD dan penyelenggaraan pemerintahan, mau tidak mau, kaum intelektual dan komunitas kritis menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam parlement watch untuk menyelamatkan kondisi sosial dari bencana dan petaka dari sebuah kehancuran negeri ini.
Barangkali inilah, apa yang kita definisikan dengan kaum intelektual dan atau komunitas kritis yang berfikir sebagai tugas, kewajiban dan tanggungjawab  kekhalifahan sebagai khalifatullah  fil ardh. Ditegaskan bahwa di dalam kerusakan, harus ada kaum yang menyeru kepada kebajikan.
APBD yang tidak berpihak kepada kepentingan publik (baca: rakyat) dan kebijakan (yang bukan) publik yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, yaitu Eksekutif bersama Legislatif, hanya akan menciptakan kebodohan struktural dan kemiskinan struktural dalam struktur ruang publik borjuis. Oleh karenanya [Jurgen Habermas, 1989], kita dapat mengkaji pada tataran mana dan bagaimana cara ruang publik memperoleh fungsi yang tepat untuk menentukan apakah implementasi dominasi dan kekuasaan muncul sebagai konstanta yang negatif dari sejarah, ataukah sebagai kategori historis itu sendiri, ini semua tetap terbuka bagi perubahan yang substantif.
Memang, agak naïf dalam dunia tanpa peta, di mana kondisi dan situasi politik yang sedemikian rupa. Qua vadis negeri ini akankah bergantung pada masyarakat ataukah pada para politisi, karena masyarakat yang buruk hanya akan melahirkan pemimpin yang buruk (korup), dan pemimpin yang buruk hanya akan menciptakan dan melestarikan masyarakat yang buruk (sakit), sehingga bisa melanggengkan keburukan atau dalam kondisi masyarakat yang sakit, para pemimpin yang buruk tersebut akan terus bisa bertahta dan membangun kedinastiannya, dengan masyarakat yang buruk, maka para pempimpin yang buruk akan selalu mengambil keuntungan darinya dan atau menguntungkan bagi diri dan golongannya.***





Tidak ada komentar: