Rabu, 31 Juli 2013

JANGAN SOK IDEALIS




singkirkan aku dari cengkraman sejarahmu
tuan dan nyonya pemilik negeri, aku mohon
jangan lagi selalu membuatku mengerang
menuliskan banyak puisi pengobat luka
tapi tak bisa membuatku berhenti menahan perihnya
sebab idealisme selalu bisa kau beli

dengan angkuh kamu mencengkramku
sambil berbisik lupakan perjuanganmu, akulah takdir
yang bisa menentukan nasibmu
karma bukan bagianku, akulah sang panguasa
berteduhlah bersama keyakinan ku
diam dan analisalah kekeliruanmu, lalu mengalah

kita samasama pengembara dalam dunia fana
bedanya dirimu selalu berselimut prinsip dan idealisme
sementara aku tak bisa hidup dalam dongengmu
tentang kejujuran dan kebenaran yang selalu menang
lihatlah para imam yang menggadaikan imannya padaku
selalu setia mendoakanku dengan zakat haramku
sementara kamu akrab dengan pena dan derit pintu tuamu
yang tak pernah terbuka melihat dunia yang telah berubah
lihatlah dirimu jubah iman telah dipakaikan padaku
apa kamu masih bertahan dengan idealismemu

Senin, 22 Juli 2013

FANATISME BERLEBIHAN, MEMBUAT KITA BUTA HATI



Catatan pinggir dari insiden oebela menjelang Pilkada di Kabupaten Rote Ndao.

Perhelatan politik kali ini lebih  banyak ekses negatifnya (sebuah persoalan yang melampaui batas peristiwa), mulai dari perseteruan yang militan, fanatisme yang membabi buta soal individu hingga person pilihan selalu memberi warna. Kesamaan Kultur  Budaya, Ras, Idioligi, Agama dan Kesenjangan Sosial telah menjadi simpul kekuatan dalam menentukan sebuah figure yang dianggap sebagai Dewa Penyelamat malah telah menjadi mesin penghancur  dan pembunuh secara fisik dan phsikis yang sangat kejam.  Sebab tanpa sadar kita telah terkotakkotakan dalam berbagai kepentingan yang dimainkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan kekuasaan. Perbedaan dan keragaman ini telah melahirkan malapetaka politik bagi rakyat. Keragaman yang seharusnya menjadi warna yang indah dalam sendisendi kehidupan mulai hancur dan terpuruk. Kesamaan status dalam klan telah melahirkan pemilih minoritas dalam mayoritas yang lebih dominan. Pemilih yang dapat bahkan selalu bertindak secara irasional ketimbang rasional.
Maka tak heran jika dalam mempertahankan keinginan ini, telah menjadi sebuah kebanggaan juga rasa optimis yang berlebihan, telah menggiring pada sikap fanatik dan militan yang bersifat ekstrim. Cilakanya lagi kita telah dipaksa dan terpaksa mengaminkannya sebagai seorang tokoh yang tidak menghianati amanat yang akan rakyat berikan. Lebih parah lagi dengan berbagai intimidasi dan diskriminasi status telah memaksa kita harus memilih sebagai pemilih minoritas dalam mayoritas. Sehingga kita lebih mudah melupakan, terpaksa dan dipaksa melupakan visi dan misi utama. Tujuan mulia kearah sebuah perubahan secara universal telah menjadi slogan dan icon yang dipaksakan. Kita telah dipaksa memilih dari yang terburuk untuk menjadi yang terbaik. Dalam mempertahankan status quo figurenya berbagai cara dan upaya rela dilakukan. Hasilnya selalu saja berbicara tentang keramahan dengan kemarahan. Pemilih mulai melupakan tujuan semulah dan mulai memilih secara emosional dan irasional.
Emosional karena selalu menuduh balik pengkritik dengan tendensius yang beraroma militan dan berbeda keyakinan. Irasional karena meskipun bersalah tetap mencari celah dan pembenaran diri dengan dalildalil dan alibialibi yang hanya dipahami menurut seleranya sendiri. Jujur melihat reaksi ini aku kadang memilih mundur berdebat, padahal persoalan yang di petakan oleh rakyat dinilai justru anti kapitalis dan korupsi, dan sudah sewajarnya masyarakat melakukan fungsi kontrolnya yang selama ini mandul. Ada juga yang sangat kontradiktif  dalam menyikapi tekanan politik dari masyarakat ini ke ranah pengolokan sebuah keyakinan. Akhirnya persoalanpersoalan yang berlatar moral dan korupsi ini selalu kandas, hambar hingga keringkan semangat menujuh pada sebuah perubahan yang meliliti kemiskinan dan kebodohan kita dari jeratan koruptor.
 
Seharusnya kita satukan visi dan jalani misi, hadapi tekanan dengan jiwa besar dan ksatria dengan jalur politik sebagai diplomat yang elegan, bukan dengan memandang sinis binti curiga. Karena rakyat sudah pandai mencium aroma apa di balik sebuah paket secara obyektif. Ambillah sisi positif dari sebuah kritikan. Karena seorang lawan sangat begitu mencintai sehingga berani memberitahukan kelemahankelemahan kita. Hasilnyapun kita bisa melakukan pembenahanpembenahan internal maupun external yang justru akan meningkatkan reputasi paket kita ke depan ke arah sebuah perubahan yang lebih baik.
Kita butuh langkah aksi bukan visi yang hanya dihabiskan diatas pentas panggung orasi. Jadi pemimpin itu tidak perlu orang pintar berteori, perlu orang yang mau bekerja untuk rakyatnya dengan caracara yang sederhana, cerdas, kreatif dan inovatif. Intinya adalah bagaimana bisa membaca kebutuhan rill rakyatnya dengan cara yang sederhana, tanpa mengabaikan kearifan kultural lokal. Bukan hanya berteori dan bermainmain dengan angkaangka statistik. Namun semuanya kembali berpulang pada masingmasing individu dalam menyikapi persoalan ini.
Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Sebab keberhasilan adalah sebuah ukuran yang dibuat oleh orang lain. Sedangkan kepuasan adalah ukuran yang dibuat oleh diri kita sendiri. Bertolak dari kalimat ini mari kita tinggalkan sebuah keharuman nama layaknya “harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama, namun malah sebaliknya, belum mati saja sudah meninggalkan belangnya”, aneh kan??. Walaupunn akhirnya akan ada kearifan local yang menyatakan “tak ada gading yang tak retak”, dalam bentuk pemberian maaf dari rakyat kepada pemimpinnya. Insyaallah tak akan terjadi melainkan sebuah bentuk pujian nyata atas kesuksesannya.  

Marilah kita bergandengan tangan menujuh sebuah tujuan yang pasti demi sebuah perubahan secara universal.

Selasa, 09 Juli 2013

RENUNGAN TENTANG MUTASI DAN PELANTIKAN PEJABAT DAERAH



Mutasi dan pelantikan pejabat structural merupakan hal yang biasa dan perlu dilakukan untuk suatu promosi jabatan yang bertujuan untuk penyegaran dan pembinaan karier. Sehingga dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam memberikan pelayanan prima untuk masyarakat,”, sehingga dinamika kehidupan dalam organisasi pemerintahan berjalan baik. Pelantikan adalah untuk menjawab sebuah kebutuhan organisasi, namun harusnya tetap mengedepankan dan mempertimbangkan kemampuan, kompetensi dan kinerja aparaturnya secara selektif. Untuk meningkatkan profesionalisme, pelayanan public dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui sebuah evaluasi yang selektif dan professional sesuai aturan yang berlaku. Demi terciptanya kerjasama, integritas, dedikasi, loyalitas, dan komitmen untuk mewujudkan visi dan misi Pemerintah Daerah.
Mutasi dan pelantikan pejabat structural adalah hak Prerogatif Bupati, tetapi sebagian besar dari hasil mutasi itu adalah penggodokkan Tim Baperjakat. Sedangkan tugas dari Baperjakat adalah memberikan pertimbangan kepada Bupati agar pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; Pelaksanaan seleksi dilakukan berbasis kompetensi dan dilakukan secara obyektif, akuntabel dan sesuai dengan kebutuhan organisasi, tanpa mengabaikan aturan yang berlaku. Sesuai standart minimal Kepegawaian yaitu serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan; Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan; Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan; yang telah di verifikasi; Sehat jasmani dan rohani melalui tahapan pengujian kesehatan.
Namun dalam pelaksanaanya di daerah tidaklah demikian. Mengapa sampai pada saat ini PNS masih terintimidasi oleh penguasa. Mari kita buka kembali file lama peninggalan Orde Baru, dimana seorang PNS sangat terintimidasi oleh kepentingan politik tertentu, sehingga tingkat loyalitasnya sudah bergeser menjadi “monoloyalitas” pada kepentingan kekuasaan, sehingga PNS dijadikan anggota dan pengurus sebuah partai dari tinggkat pusat sampai pada daerah. Puncaknya PNS mendapat predikat baru “Korban Pemilu” bagi mereka yang membangkang dan tidak mau bergabung pada parpol tertentu. Saat Orde Baru tumbang maka monoloyalitas pun mulai terputus, dengan lahirlah Undangundang nomor 43 tahun 1999 yang menyuarakan kebebasan PNS untuk tidak lagi berafiliasi kepada parpol tertentu tapi harus bersikap netral. Belum lagi bernafas lega PNS kembali di intimidasi dengan berbagai cara dengan lahirnya undangundang nomor 32 tahun 2004, yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung.
Tekanan politik semakin bertambah keras dan lebih kejam lagi apabila yang akan bersaing dalam Pilkada adalah “incumbent”. Calon “incumbent” yang akan bersaing dalam Pilkada akan selalu mengadakan 2(dua) kali pembersihan dalam jajaran birokrasinya yaitu sebelum dan sesudah Pilkada berlangsung dengan melakukan mutasi PNS dan pelantikan pejabat struktural. Sasarannya sudah dapat dipastikan adalah mereka yang dianggap tidak mendukung dirinya. Akibatnya adalah terjadinya konflik interest, stress, frustrasi, dan apatis bagi PNS dalam melaksanakan tugasnya, maka akan timbul saling mencurigai dan saling lapor antara satu PNS dengan PNS lainnya. Profesionalitas PNS hilang, mulai terpuruk dan mati suri, yang muncul dipermukaan adalah para PNS yang tidak memiliki kemampuan dan prestasi kerja tetapi memiliki kemampuan koneksifitas yang tinggi atau kerennya adalah “penjilat”. Jelas mutasi dan pelantikan ini semakin bergeser dari visi dan misinya. Profesi, kompetensi, akuntabilitas juga efektifitas dalam meningkatkan profesionalitas semakin sekarat. Yang ada Cuma koneksifitas. Jika mau maju dalam karier, sisanya pembunuhan karakter dan karier bagi yang idealis dan yang bertahan dalam kebenaran prinsip.
Maka tak lagi heran jika di daerah kembali lahir gelar baru yang lebih modern dan trendi “Korban Pilkada”. Ibarat lepas dari cengkraman harimau masuk kembali ke dalam terkaman mulut buaya. Ahhh layaknya memakan buah simalakama, bagi mereka yang idealis, kompetitif, akuntabiliti dan professional, dalam mempertahankan diri, karier dan juga demi meningkatkan jabatan yang lebih tinggi dalam sebuah persaingan yang tidak lagi sehat. Semakin frustrasi, stress, cuek, apatis dan pasif dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Hasilnya bisa kita tebak dengan pasti bahwa peningkatan produktifitas semakin menurun, baik dalam tingkat loyalitas, profesi, etika dan moral. Sampai kapan Negara ini bebas dari saling memperalat dan memanfaatkan demi pencitraan dan kekuasaan diri sang penguasa. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Minggu, 07 Juli 2013

NASIB,.........



kita tak pernah memahami
cara kehidupan mempertemukan kita
namun setiap pertemuan bisa saling berbagi dan perduli
kadang jalan terasa begitu melelahkan
tak mungkin dilewati dengan sekalih rengkuh
kadang lewati titian dengan riang hati
malah hanya seperti kedipan waktu, sangat singkat
selalu memahat tanya yang tak terjawab

tak ada yang bisa disembunyikan
saat kesedihan datang bertandang, selalu ada tangis

PELACUR KEBENARAN



saat ini, demi mengisi lambung yang kosong
lahirlah banyak ahli kitab suci
selalu memindahkan riwayat dan sejarah
dengan tangkas memangkas menjadikan sesat 

penafsiran dimulai dengan sekarat
layaknya musim, penanda kerasnya takdir
selalu berseru dijalanjalan tentang mimpi dan hidup abadi
padahal sebuah lahat lebih terang dari dirinya