Selasa, 12 November 2013

HITAM AIR LAUTKU



lautku  telah kehilangan pelukan lembut alga
hingga senjanya pun, kehilangan senyum
berlaksa jala ditebarkan nelayan 
mencari jasad matamu yang telah kehilangan bening
tinggal amarahmu yang kau titipkan pada taringtaring karang
yang kian runcing dikikis abrasi

pulauku mulai sesak dengan nafas mempelai sunyi
sejak atmosfer ditelan gedung kaca bertingkat
kau mulai kehilangan makna lambaian nyiur
celoteh riang bibir sampan, yang digauli ombakmu
yang selalu menentramkan gelora liar jiwamu

mungkin amarah bermuara pada nisannisan nyiur
yang telah sujud pada tangantangan kokoh keserakahan
ataukah jantungmu yang terjangkiti limbah kesedihan
hingga siapapun tak akan pernah mampu menghakimi kehilafan ini
yang membuatmu terkurung dalam jurang kesendirian

Kamis, 07 November 2013

JALAN GELAP YANG KAU PILIH 2



dalam kegalauan, langkahku limbung
bahkan tak bisa berjalan sendirian, tanpamu
harapku senyum genitmu memapahku
dengan kecupan hangatmu sibuk membantuku,
luruskan kesepian yang merasuki langkah

namun pintu malam terbuka menatapku iba
seolah mengukur seberapa jauh rasamu, merasuki jiwaku
masih saja namamu melingkar damai di jantungku
namun kekeliruanmu memilih rupiah dengan sintal tubuhmu
karena penderitaan jadikan nabi yang paling kau takuti
habis, untuk membunuh rasa syukurmu

menjauhlah hikayat lumpur
yang memahat tubuhmu dalam ingatan
seperti aku mengingat comberan becek selokan kota
disanalah tawamu selalu terjerembab sepanjang musim

Rabu, 06 November 2013

JALAN GELAP YANG KAU PILIH 1



dalam keremangan dibalik kelambu
kau menatapku dalam dan penuh makna
hingga dirimu tahu seberapa deras aliran darahku
singgah dalam alam fikirmu yang ngeres
terus kau tatap dadaku saat ku buka bajuku
hingga kau bisa menghitung detak jantungku
yang menyebut namamu dalam rintihku

dalam alam fikirku,
mengapa pergi dengan mengingkari cintamu
jika demikian inginmu. pergilah
dengan membawah hatiku bersama denyutmu
aku ikhlas hingga separuh detak nadiku
memudarkan warna jalanmu

KEJAHATAN POLITIK (BANALITAS POLITIK)



kejahatan timbul karena bukan saja orang tersebut berhati jahat, tapi karena adanya kesempatan. hilangnya kemampuan mengambil jarak dari halhal yang bersifat sistemik, budaya yang mengakar sebagai perilaku kolektif, rendahnya moralitas, alpa dalam kemampuan berpikir rasional, kritis yang berlandaskan hati nurani sebelum bertindak atas nama orang banyak. kejahatan itu jauh lebih dramatis, romantis dan vulgar ketika dilakukan oleh orangorang yang sadar telah bertindak jahat tapi masih merasa hanya menjalankan sesuatu yang lazim terjadi di lingkungannya. kejahatan yang dianggap wajar hanya karena menjalankan perintah atasan “the banality of evil”. suatu kondisi di mana kejahatan terjadi pada skala massif, dipraktekkan sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, dan sistematis, hampir sama sekali tidak melibatkan rasa bersalah.
negara ini telah carut marut dilanda tsunami politik kotor, skandal suap, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang tiada henti selalu menerjang dan menghantam seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara. segalah sesuatu dilakukan atau disaksikan sebagai sebuah kewajaran, dengan hanya mengelus dada karena telah dianggap sebagai bencana bukan sebuah ketidakwajaran. unsur pemerintahan tak lagi merasa risi ketika melakukan pungutan liar, menilap uang rakyat, atau menyalahgunakan jabatan. justru merasa asing jika tidak melakukannya karena hampir semua orang di sekitar melakukannya. Para pemimpin politik juga semakin tak ragu-ragu menunjukkan dirinya sebagai orangorang yang hidup dari politik, dan bukan orangorang yang hidup untuk politik (Max Weber). Term dana politik yang begitu identik dengan praktek percaloan anggaran, penguasaan atas proyekproyek pemerintah, jualbeli pasal perundangundangan guna melindungi kepentingan pengusaha yang menjadi donatur partai, dan lain-lain.
mati rasa terhadap kejahatan politik juga terjadi dalam masyarakat elite, lawyer, akademisi, dan intelektual yang berperan sebagai konsultan, peneliti dan para pakar. dimana mereka “tidak pernah melihat problema akuntabilitas kinerja” dengan nurani dan moralitas tapi lebih melihatnya dari sudut pandang “profesionalisme” dalam melayani kliennya. demikianpun peran dunia pers dan media masa mempunyai kecendrungan yang sama, tidak secara spartan melihat akuntabilitas, rekam jejak, secara berimbang. dikalangan akar rumput dan kaum kecil hanya mampu mengelus dada yang sesak karena: pungutan liar yang kian marak dan terus terjadi, buruknya pelayanan publik, lemahnya perlindungan terhadap kaum miskin membuat masyarakat lebih bersifat pragmatis, apatis terhadap politik dan menerima keadaan itu sebagai sebuah kewajaran bagi mereka yang memegang kekuasaan pada semua lini dan level pemerintahan.
kondisi “the desert worl” (Hannah Arendt) dimana sebuah tatanan pemerintahan yang hampir semua unsurnya tidak lagi mampu meratapi dan melawan penyelewengan terhadap esensi politik (pengabdian, pelayanan, pembebasan dan kejujuran). cuek, mati sudah rasa bersalah, terusik datau marah jika hakhaknya di zolimi, suap, korupsi dan penyelewengan dengan menghibur diri yang penting bukan saya, tidak merugikan saya, atau biarlah siapa tahu saya juga dapat sedikit remahremahnya.
 kunci sukses untuk keluar dari gurita banalitas kejahatan politik yang membelit adalah ketajaman pedang hukum dan keberanian aparatur untuk mengeksekusinya. sebab konfidensi timbal balik para pelaku banalitas kejahatan selalu menjaga kerahasiaan kolektif yang memungkinkan satu kelompok mengikat anggotanya untuk saling menutupi kesalahan dengan kelompok lainnya. maka sangatlah mustahil jika kita berharap para politikus atau pejabat publik mengungkapkan skandal di sekitarnya karena terikat untuk menjaga kerahasiaan kolektif. berani berati tergusur dari klan, diganjar pemecatan, recall atau dijadikan kambing hitam sendirian. disisi yang lain masyarakat juga berani berkata tidak untuk memilih mereka yang jejak rekamnya sangat buram baik dalam hubungan sosial, politik, dan idiologi. sebab hakikatnya politik adalah solidaritas politisi antara warga negara dalam menyelesaikan masalah bersama secara rasional, adil, diskursif dan tanpa pemaksaan. esensinya adalah kemampuan untuk bersikap kritis terhadap keadaan, mempertimbangkan hati nurani, dan menomorduakan kepentingan diri ketika menjalankan fungsi-fungsi publik. disinilah kita sedang menghadapi krisis akut pada tataran ini. politik semakin lekat dengan penguasaan dan manipulasi, semakin jamak diselubungi motif privat: memperkaya diri dan membangun popularitas pribadi. para politikus dan pejabat publik tak pernah otentik sebagai manusia politik karena selalu memposisikan diri sebagai instrumen dari suatu sistem, tak peduli apakah sistem itu bersih, legitimate, atau sebaliknya.
masyarakat harus diingatkan, politik bukan sekadar pemungutan suara lima tahun sekali, tetapi juga bagaimana hasil pemungutan suara itu dikontrol sehingga benar-benar bermanfaat bagi pemegang hak suara. korupsi, kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil, eksploitasi sumber-sumber daya alam yang sangat tidak adil, terjadi karena masyarakat hanya berdiam diri, hanya menyerahkan mandat dan tidak pernah benarbenar memeriksanya ke tangan orangorang yang ternyata terjun ke politik lebih karena motifmotif privat.

Selasa, 05 November 2013

JALAN GELAP YANG KAU PILIH



kegelisahan hidup selalu mengalir
mengikuti peradaban, menyeretmu pada ringkas takdir
yang menenggelamkan doa ibumu
pada sebuah jalan gelap yang kau pilih

aku mengerti, mengapa kau mengejar temaram
setelah kau cacimaki penderitaan hidup
hingga malampun terang terlihat dari belahan dadamu
mengaminkan kebebasan warna lipstikmu
yang selalu sensual dalam tiap desah

kelembutan yang dulu karib mulai mengasingkan diri
bertukar tempat dengan kegairahan yang kian liar

aku memahami, kekeliruanmu memoles dunia
dengan sintal tubuhmu
karena penderitaan jadikan nabi yang paling kau takuti
membuatmu mengikuti langkah halus kakimu menujuh ranjang
membungkus erangan sebagai pemandu dalam lembaran rupiah