Mendapat julukan Negeri
Sejuta Koruptor dan Stereotipe sebagai Propinsi
‘Miskin’ yang dipertegas dengan akronim NTT yang miris ‘Nanti Tuhan Tolong’
dan’Nasib Tidak Tentu’ membuat masyarakat Pulau Ndao dan Nuse Kabupaten
Rote Ndao, Propinsi Nusa Tenggara Timur tidak hanya duduk diam dan meratapi
nasib. Di tengah himpitan ekonomi dan usaha untuk mempertahankan hidup dari alam
yang keras, kering dan berpasir ini telah melahirkan karyakarya handal anak
daerah lewat mitos, kearifan cultural budaya, imajinasi, dan kesederhanaan
lingkungan serta tradisi yang telah berurat akar membentuk karakter dan corak tenun
ikat pulau Ndao dan Nuse di Kabupaten Rote Ndao menjadi Icon
Dunia.
Motif-motif yang melekat pada tenun
ikat Pulau Ndao dan Nuse sarat makna, terdokumentasi dengan sempurna,
menggambarkan aktivitas masa lampau tentang roda kehidupan, kemasyuran juga
kepahlawanan secara turun temurun. Sebab, dari lembaran-lembaran kain ini telah
menceritakan kembali mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat yang mendiami
Pulaupulau kecil ini. Dengan berbagai corak, gambar, bentuk, dan besarannya
memiliki cerita tersendiri. Cerita ini terus dituturkan secara turun temurun
lewat corak dan motif tenun ikat maupun nasihat dan petuahpetuah orang tua
kepada anakanaknya.
Proses Pewarnaan
Di mulai dari membuat benang dari
kapas, membuat motif, sampai pada taraf mencelup benang ke dalam zat pewarna
yang dibuat dari bahan-bahan alami seperti kunyit, akar mengkudu, daun papaya,
juga dipendam dalam lumpur tertentu untuk menghasilkan warna yang mampu
bertahan bertahun-tahun. Proses pencelupan benang membutuhkan waktu satu atau
dua bulan. Di masa lalu, penenun bahkan menyiapkan benang selama
berbulan-bulan. Cara ini menghasilkan tenun kualitas terbaik yang warnanya
tidak pudar selama puluhan tahun. Selembar kain dengan metode bunga yang
tingkat kerumitannya tinggi diselesaikan selama empat sampai lima bulan
perlembar.
Tuntutan kehidupan ekonomi yang
semakin meningkat, membuat para penenun ikat harus terus berjuang keras melawan
berbagai kesulitan yang selalu menekan menghimpit dan membunuh mereka secara
perlahan dan sadis. Betapa tidak disatu sisi, hasil karya mereka tidak dihargai
dengan bijak, dianggap kurang rapih, harganya mahal dan tidak lentur saat
dijadikan baju, semi jas, jas, balero, hiasan dinding, taplak meja, dan lain
sebagainya. Sementara disisi yang lain mereka butuh uang untuk mempertahankan
hidup dan menjalankan usahanya.
Untuk mensiasati zaman yang telah
maju para penenun manual ini juga mulai mencoba menggunakan metode sotis dan
futus, (metode yang menggunakan bahanbahan sintesis tanpa meninggalkan motif
dan corak tradisionalnya). Keadaan kehidupan yang miris, tanpa meninggalkan
kearifan local budaya melalui motifmotif dan corakcoraknya para pengrajin tenun
ikat ini mulai meninggalkan metode alamia yang dianggap lama, dan hasilnya juga
kurang bagus. Tapi tetap saja mereka kalah dan terpuruk jatuh tak berdaya
karena kekurangan modal, dan kalah bersaing dengan buatan mesin.
Proses Penenunan
Kuatnya budaya luar yang mempreteli budaya daerah juga “pola impor” oleh Negara telah
melumpuhkan kreatifitas, menenggelamkan karya seni dan membunuh kehidupan
rakyatnya secara perlahanlahan memasuki liang lahatnya dengan tenang. Betapa
tidak motif dan corak yang dihasilkan dalam karya seni dan tenun ikat tidak
pernah mendapatkan perlindungan hak cipta sebagai hasil mahakarya yang agung
dari anak bangsa. Apresiasi juga motivasi dari Pemerintah tidak pernah
diberikan samasekali, malah pemerintah asik mengimpor hasil tenunan Negara lain
yang telah menduplikasi karya seni anak bangsanya sendiri. Sungguh sebuah
penghargaan yang sangat sarkatis.
Seharusnya motif dan corak yang
telah turun temurun di tuturkan dan terdokumentasikan dengan baik lewat
karyakarya intelektual dengan kesederhanaan cultural budaya ini diakui.
Mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku sebagai hak petent penciptaan. Agar karya anak bangsa ini bisa
mendapatkan royaltynya. Jujur jika dampak positif ini dapat dirasakan langsung
oleh penenun ikat, maka aka nada kreasi baru untuk menciptakan motif baru yang
lebih memukau. Namun sentuhan perhatian berupa dana, dan perlindungan hasil
karya anak bangsa tidak pernah diberikan samasekali oleh Pemerintah Daerah
maupun Pemerintah Pusat.
Mengapa saat menjelang masa Pemilihan Kepala Daerah yang
baru, selalu saja ada program yang berbasis ekonomi mikro dadakan dari penguasa
kepada rakyatnya?????. Lalu dimana selama ini jika rakyatnya membutuhkan uluran
tangan mereka.!!!!!!!. Dimana wujud perhatian Pemerintah terhadap rakyatnya yang
melarat sesuai konstitusi yang ada?????. Jangan
lagi memanfaatkan kultur budaya local untuk kepentingan politik pragtis
penguasa, karena itu hanya akan menyulutkan bara api dendam dalam sekam.
Jika bantuan itu hanya bersifat politis dan pencitraan diri, jangan datang dan lukai lagi hati rakyat.
Sebab tanpa bantuanpun rakyatnya bisa mencarimakan sendirisendiri.
Proses Finising
Dari catatan arena
“Workshop
Tenun Ikat” di Pulau Ndao, Kabupaten Rote Ndao pada tahun 2012 selama seminggu
ini bisa
dijadikan
bahan perenungan bukan pencitraan diri. Dengan
mengatasnamakan masyarakat miskin, bodoh dan terizolir kita membentuk kelompok
tenun ikat dadakan. Tanpa memberikan mereka fasilitas, pendampingan yang lebih
baik dan suntikan dana yang memadai. Aduh
betapa mirisnya kita yang berkuasa, karena dengan bangga dan rasa percaya diri
yang tinggi kita memperkenalkan kepada dunia luar bahwa inilah kelompok binaan
kita. Sebuah modus “Black Politic dan
Pencitraan Diri”, yang suka dimainkan oleh penguasa kepada rakyatnya.
Yang pasti selama ini tidak pernah
terbentuk kelompok tenun ikat yang didanai di pulau tersebut oleh Pemerintah
Daerah. Kalaupun ada, itu hanya bentukan dadakan, karena kepentingan tertentu
untuk menyalurkan hasrat kekuasaan dan pencitraan diri. Sebab selama ini tak
pernah ada satupun kelompok binaan pemerintah kepada masyarakatnya disana.
Sebab usaha masyarakat di Pulau Ndao dan Nuse adalah bentuk usaha individu
untuk mempertahankan kearifan Kultural Budaya Daerahnya dan murni usaha untuk
mempertahankan hidupnya dari kemiskinan yang selalu menjerat mereka karena
begitu terisolirnya pulau tersebut dari fasilitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar