Sabtu, 28 Mei 2011

RUMAH KEBON GURUKU


menyusuri tepian petak sawah
seakan sampai pada keheningan alam yang sempurna
diantara julang cerobong pabrik dan hutan beton
yang angkuh merobek ozzon
sesekali terdengar lenguh kerbau
juga siulan kecil seruling bambu bocah pengembala
 diantara pekik riang dara pemetik padi saat panen

disitulah rumahnya berdiri kokoh
bercat putih, bersih dan elegan
berdiri mengangkangi sungai kecil tanpa tepi
dibawah teduh pohon buah yang subur tumbuh
berpagar  anggrek dan kembang liar lokal yang tertata
juga aneka unggas yang tentram berdamping dengan ternak lainnya
                                  
aku datang lagi  ke rumah itu
tampa keangkuhan juga senyum kemenangan
yang mengabarkan bahwa aku telah sukses di kota
saat dulu dia selalu memukulku dengan rotan dikelas karena kenakalanku

kini baru aku tahu di ujung rotan ada emas

segelas wedang jahe penghangat pagi yang beku
di temani sepiring singkong rebus
ia hanya inginkan sisa umurnya
seperti  sang elang yang bertengger 
pagi tadi di pokok kayu tua di sudut ngarai
ahh sebuah keinginan yang sangat sederhana
jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kehidupan yang keras
“biar bisa menanak bekal buat hari akhir katamu saat ajal memanggil”
katamu sambil memamerkan rongga kosong diantara gerahammu
itu terlihat dari balik senyum lepasmu
mengelitik imajinasiku untuk merenungi makna “ambigu” ini

interval waktu telah mengerogoti keperkasaanmu
dengan menyuburkan uban di kepala
dan menciutkan raga kekarmu
tapi tidak dengan jiwa dan semangatmu
untuk terus mengajari tentang amal dan kebaikan pada sesama
jujur saat ini baru kutahu bahwa benarbenar  engkau adalah seorang guru

seorang guru yang patut di teladani dalam kesederhanaannya….

Tidak ada komentar: