menyusuri tepian petak sawah
seakan sampai pada keheningan alam
yang sempurna
diantara julang cerobong pabrik dan
hutan beton
yang angkuh merobek ozzon
sesekali terdengar lenguh kerbau
juga siulan kecil seruling bambu bocah
pengembala
diantara pekik riang dara pemetik padi saat
panen
disitulah rumahnya berdiri kokoh
bercat putih, bersih dan elegan
berdiri mengangkangi sungai kecil
tanpa tepi
dibawah teduh pohon buah yang subur
tumbuh
berpagar anggrek dan kembang liar lokal yang tertata
juga aneka unggas yang tentram
berdamping dengan ternak lainnya
aku datang lagi ke rumah itu
tampa keangkuhan juga senyum
kemenangan
yang mengabarkan bahwa aku telah
sukses di kota
saat dulu dia selalu memukulku dengan
rotan dikelas karena kenakalanku
kini baru aku tahu di ujung rotan ada
emas
segelas wedang jahe penghangat pagi
yang beku
di temani sepiring singkong rebus
ia hanya inginkan sisa umurnya
seperti sang elang yang bertengger
pagi tadi di pokok kayu tua di sudut
ngarai
ahh sebuah keinginan yang sangat
sederhana
jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk
kehidupan yang keras
“biar bisa menanak bekal buat hari
akhir katamu saat ajal memanggil”
katamu sambil memamerkan rongga kosong
diantara gerahammu
itu terlihat dari balik senyum lepasmu
mengelitik imajinasiku untuk merenungi
makna “ambigu” ini
interval waktu telah mengerogoti
keperkasaanmu
dengan menyuburkan uban di kepala
dan menciutkan raga kekarmu
tapi tidak dengan jiwa dan semangatmu
untuk terus mengajari tentang amal dan
kebaikan pada sesama
jujur saat ini baru kutahu bahwa
benarbenar engkau adalah seorang guru
seorang guru yang patut di teladani
dalam kesederhanaannya….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar