Mutasi
dan pelantikan pejabat structural merupakan hal yang biasa dan perlu dilakukan
untuk suatu promosi jabatan yang bertujuan untuk penyegaran dan pembinaan
karier. Sehingga dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam memberikan
pelayanan prima untuk masyarakat,”, sehingga dinamika kehidupan dalam
organisasi pemerintahan berjalan baik. Pelantikan
adalah untuk menjawab sebuah kebutuhan organisasi, namun harusnya tetap
mengedepankan dan mempertimbangkan kemampuan, kompetensi dan kinerja
aparaturnya secara selektif. Untuk meningkatkan profesionalisme, pelayanan
public dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui sebuah evaluasi yang
selektif dan professional sesuai aturan yang berlaku. Demi terciptanya kerjasama,
integritas, dedikasi, loyalitas, dan komitmen untuk mewujudkan visi dan misi
Pemerintah Daerah.
Mutasi dan pelantikan pejabat structural adalah hak Prerogatif Bupati, tetapi sebagian besar dari hasil mutasi
itu adalah penggodokkan Tim Baperjakat. Sedangkan tugas dari Baperjakat adalah
memberikan pertimbangan kepada Bupati agar pemberian kenaikan pangkat bagi yang
menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya,
menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; Pelaksanaan seleksi
dilakukan berbasis kompetensi dan dilakukan secara obyektif, akuntabel dan
sesuai dengan kebutuhan organisasi, tanpa mengabaikan aturan yang berlaku.
Sesuai standart minimal Kepegawaian yaitu serendah-rendahnya menduduki pangkat
1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan; Memiliki kualifikasi
dan tingkat pendidikan yang ditentukan; Semua unsur penilaian prestasi kerja
sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; Memiliki
kompetensi jabatan yang diperlukan; yang telah di verifikasi; Sehat jasmani dan
rohani melalui tahapan pengujian kesehatan.
Namun
dalam pelaksanaanya di daerah tidaklah demikian. Mengapa sampai pada saat ini
PNS masih terintimidasi oleh penguasa. Mari kita buka kembali file lama peninggalan
Orde Baru, dimana seorang PNS sangat terintimidasi oleh kepentingan politik
tertentu, sehingga tingkat loyalitasnya sudah bergeser menjadi “monoloyalitas” pada kepentingan
kekuasaan, sehingga PNS dijadikan anggota dan pengurus sebuah partai dari
tinggkat pusat sampai pada daerah. Puncaknya PNS mendapat predikat baru “Korban
Pemilu” bagi mereka yang membangkang dan tidak mau bergabung pada
parpol tertentu. Saat Orde Baru tumbang maka monoloyalitas pun mulai terputus,
dengan lahirlah Undangundang nomor 43 tahun 1999 yang menyuarakan kebebasan PNS
untuk tidak lagi berafiliasi kepada parpol tertentu tapi harus bersikap netral.
Belum lagi bernafas lega PNS kembali di intimidasi dengan berbagai cara dengan
lahirnya undangundang nomor 32 tahun 2004, yang mengatur pemilihan kepala
daerah secara langsung.
Tekanan
politik semakin bertambah keras dan lebih kejam lagi apabila yang akan bersaing
dalam Pilkada adalah “incumbent”. Calon “incumbent” yang akan
bersaing dalam Pilkada akan selalu mengadakan 2(dua) kali pembersihan dalam
jajaran birokrasinya yaitu sebelum dan sesudah Pilkada berlangsung dengan
melakukan mutasi PNS dan pelantikan pejabat struktural. Sasarannya sudah dapat
dipastikan adalah mereka yang dianggap tidak mendukung dirinya. Akibatnya adalah
terjadinya konflik interest, stress, frustrasi, dan apatis bagi PNS dalam
melaksanakan tugasnya, maka akan timbul saling mencurigai dan saling lapor
antara satu PNS dengan PNS lainnya. Profesionalitas PNS hilang, mulai terpuruk
dan mati suri, yang muncul dipermukaan adalah para PNS yang tidak memiliki
kemampuan dan prestasi kerja tetapi memiliki kemampuan koneksifitas yang tinggi atau
kerennya adalah “penjilat”. Jelas
mutasi dan pelantikan ini semakin bergeser dari visi dan misinya. Profesi,
kompetensi, akuntabilitas juga efektifitas dalam meningkatkan profesionalitas
semakin sekarat. Yang ada Cuma koneksifitas. Jika mau maju dalam karier,
sisanya pembunuhan karakter dan karier bagi yang idealis dan yang bertahan
dalam kebenaran prinsip.
Maka
tak lagi heran jika di daerah kembali lahir gelar baru yang lebih modern dan
trendi “Korban Pilkada”. Ibarat lepas dari cengkraman harimau masuk
kembali ke dalam terkaman mulut buaya. Ahhh layaknya memakan buah simalakama,
bagi mereka yang idealis, kompetitif, akuntabiliti dan professional, dalam
mempertahankan diri, karier dan juga demi meningkatkan jabatan yang lebih
tinggi dalam sebuah persaingan yang tidak lagi sehat. Semakin frustrasi,
stress, cuek, apatis dan pasif dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya
sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Hasilnya bisa kita tebak dengan pasti
bahwa peningkatan produktifitas semakin menurun, baik dalam tingkat loyalitas,
profesi, etika dan moral. Sampai kapan Negara ini bebas dari saling memperalat
dan memanfaatkan demi pencitraan dan kekuasaan diri sang penguasa. Hanya waktu
yang bisa menjawabnya.