Senin, 22 Juli 2013

FANATISME BERLEBIHAN, MEMBUAT KITA BUTA HATI



Catatan pinggir dari insiden oebela menjelang Pilkada di Kabupaten Rote Ndao.

Perhelatan politik kali ini lebih  banyak ekses negatifnya (sebuah persoalan yang melampaui batas peristiwa), mulai dari perseteruan yang militan, fanatisme yang membabi buta soal individu hingga person pilihan selalu memberi warna. Kesamaan Kultur  Budaya, Ras, Idioligi, Agama dan Kesenjangan Sosial telah menjadi simpul kekuatan dalam menentukan sebuah figure yang dianggap sebagai Dewa Penyelamat malah telah menjadi mesin penghancur  dan pembunuh secara fisik dan phsikis yang sangat kejam.  Sebab tanpa sadar kita telah terkotakkotakan dalam berbagai kepentingan yang dimainkan oleh mereka yang mempunyai kepentingan kekuasaan. Perbedaan dan keragaman ini telah melahirkan malapetaka politik bagi rakyat. Keragaman yang seharusnya menjadi warna yang indah dalam sendisendi kehidupan mulai hancur dan terpuruk. Kesamaan status dalam klan telah melahirkan pemilih minoritas dalam mayoritas yang lebih dominan. Pemilih yang dapat bahkan selalu bertindak secara irasional ketimbang rasional.
Maka tak heran jika dalam mempertahankan keinginan ini, telah menjadi sebuah kebanggaan juga rasa optimis yang berlebihan, telah menggiring pada sikap fanatik dan militan yang bersifat ekstrim. Cilakanya lagi kita telah dipaksa dan terpaksa mengaminkannya sebagai seorang tokoh yang tidak menghianati amanat yang akan rakyat berikan. Lebih parah lagi dengan berbagai intimidasi dan diskriminasi status telah memaksa kita harus memilih sebagai pemilih minoritas dalam mayoritas. Sehingga kita lebih mudah melupakan, terpaksa dan dipaksa melupakan visi dan misi utama. Tujuan mulia kearah sebuah perubahan secara universal telah menjadi slogan dan icon yang dipaksakan. Kita telah dipaksa memilih dari yang terburuk untuk menjadi yang terbaik. Dalam mempertahankan status quo figurenya berbagai cara dan upaya rela dilakukan. Hasilnya selalu saja berbicara tentang keramahan dengan kemarahan. Pemilih mulai melupakan tujuan semulah dan mulai memilih secara emosional dan irasional.
Emosional karena selalu menuduh balik pengkritik dengan tendensius yang beraroma militan dan berbeda keyakinan. Irasional karena meskipun bersalah tetap mencari celah dan pembenaran diri dengan dalildalil dan alibialibi yang hanya dipahami menurut seleranya sendiri. Jujur melihat reaksi ini aku kadang memilih mundur berdebat, padahal persoalan yang di petakan oleh rakyat dinilai justru anti kapitalis dan korupsi, dan sudah sewajarnya masyarakat melakukan fungsi kontrolnya yang selama ini mandul. Ada juga yang sangat kontradiktif  dalam menyikapi tekanan politik dari masyarakat ini ke ranah pengolokan sebuah keyakinan. Akhirnya persoalanpersoalan yang berlatar moral dan korupsi ini selalu kandas, hambar hingga keringkan semangat menujuh pada sebuah perubahan yang meliliti kemiskinan dan kebodohan kita dari jeratan koruptor.
 
Seharusnya kita satukan visi dan jalani misi, hadapi tekanan dengan jiwa besar dan ksatria dengan jalur politik sebagai diplomat yang elegan, bukan dengan memandang sinis binti curiga. Karena rakyat sudah pandai mencium aroma apa di balik sebuah paket secara obyektif. Ambillah sisi positif dari sebuah kritikan. Karena seorang lawan sangat begitu mencintai sehingga berani memberitahukan kelemahankelemahan kita. Hasilnyapun kita bisa melakukan pembenahanpembenahan internal maupun external yang justru akan meningkatkan reputasi paket kita ke depan ke arah sebuah perubahan yang lebih baik.
Kita butuh langkah aksi bukan visi yang hanya dihabiskan diatas pentas panggung orasi. Jadi pemimpin itu tidak perlu orang pintar berteori, perlu orang yang mau bekerja untuk rakyatnya dengan caracara yang sederhana, cerdas, kreatif dan inovatif. Intinya adalah bagaimana bisa membaca kebutuhan rill rakyatnya dengan cara yang sederhana, tanpa mengabaikan kearifan kultural lokal. Bukan hanya berteori dan bermainmain dengan angkaangka statistik. Namun semuanya kembali berpulang pada masingmasing individu dalam menyikapi persoalan ini.
Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Sebab keberhasilan adalah sebuah ukuran yang dibuat oleh orang lain. Sedangkan kepuasan adalah ukuran yang dibuat oleh diri kita sendiri. Bertolak dari kalimat ini mari kita tinggalkan sebuah keharuman nama layaknya “harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama, namun malah sebaliknya, belum mati saja sudah meninggalkan belangnya”, aneh kan??. Walaupunn akhirnya akan ada kearifan local yang menyatakan “tak ada gading yang tak retak”, dalam bentuk pemberian maaf dari rakyat kepada pemimpinnya. Insyaallah tak akan terjadi melainkan sebuah bentuk pujian nyata atas kesuksesannya.  

Marilah kita bergandengan tangan menujuh sebuah tujuan yang pasti demi sebuah perubahan secara universal.

Tidak ada komentar: