Catatan pinggir dari insiden oebela menjelang Pilkada di
Kabupaten Rote Ndao.
Perhelatan politik kali ini lebih banyak ekses
negatifnya (sebuah persoalan yang melampaui batas peristiwa), mulai dari
perseteruan yang militan, fanatisme yang membabi buta soal individu hingga person
pilihan selalu memberi warna. Kesamaan Kultur
Budaya, Ras, Idioligi, Agama dan Kesenjangan
Sosial telah menjadi simpul kekuatan dalam menentukan sebuah figure yang
dianggap sebagai Dewa Penyelamat malah telah menjadi mesin penghancur dan pembunuh secara fisik dan phsikis yang
sangat kejam. Sebab tanpa sadar kita
telah terkotakkotakan dalam berbagai kepentingan yang dimainkan oleh mereka yang
mempunyai kepentingan kekuasaan. Perbedaan
dan keragaman ini telah melahirkan malapetaka politik bagi rakyat. Keragaman
yang seharusnya menjadi warna yang indah dalam sendisendi kehidupan mulai
hancur dan terpuruk. Kesamaan status dalam klan telah melahirkan pemilih minoritas
dalam mayoritas yang lebih dominan. Pemilih yang dapat bahkan selalu bertindak
secara irasional ketimbang rasional.
Maka tak heran jika dalam mempertahankan keinginan ini,
telah menjadi sebuah kebanggaan juga rasa optimis yang berlebihan, telah menggiring
pada sikap fanatik dan militan yang bersifat ekstrim. Cilakanya lagi kita telah
dipaksa dan terpaksa mengaminkannya sebagai seorang tokoh yang tidak
menghianati amanat yang akan rakyat berikan. Lebih parah lagi dengan berbagai
intimidasi dan diskriminasi status telah memaksa kita harus memilih sebagai
pemilih minoritas dalam mayoritas. Sehingga kita lebih mudah melupakan, terpaksa
dan dipaksa melupakan visi dan misi utama. Tujuan
mulia kearah sebuah perubahan secara universal telah menjadi slogan dan icon
yang dipaksakan. Kita telah dipaksa memilih
dari yang terburuk untuk menjadi yang terbaik. Dalam mempertahankan status
quo figurenya berbagai cara dan upaya rela dilakukan. Hasilnya selalu saja
berbicara tentang keramahan dengan kemarahan. Pemilih mulai melupakan tujuan
semulah dan mulai memilih secara emosional dan irasional.
Emosional karena selalu menuduh balik pengkritik dengan
tendensius yang beraroma militan dan berbeda keyakinan. Irasional karena
meskipun bersalah tetap mencari celah dan pembenaran diri dengan dalildalil dan
alibialibi yang hanya dipahami menurut seleranya sendiri. Jujur melihat reaksi
ini aku kadang memilih mundur berdebat, padahal persoalan yang di petakan oleh
rakyat dinilai justru anti kapitalis dan korupsi, dan sudah sewajarnya
masyarakat melakukan fungsi kontrolnya yang selama ini mandul. Ada juga yang
sangat kontradiktif dalam menyikapi
tekanan politik dari masyarakat ini ke ranah pengolokan sebuah keyakinan.
Akhirnya persoalanpersoalan yang berlatar moral dan korupsi ini selalu kandas,
hambar hingga keringkan semangat menujuh pada sebuah perubahan yang meliliti
kemiskinan dan kebodohan kita dari jeratan koruptor.
Seharusnya kita satukan visi dan jalani misi, hadapi tekanan
dengan jiwa besar dan ksatria dengan jalur politik sebagai diplomat yang
elegan, bukan dengan memandang sinis binti curiga. Karena rakyat sudah pandai
mencium aroma apa di balik sebuah paket secara obyektif. Ambillah sisi positif
dari sebuah kritikan. Karena seorang lawan sangat begitu mencintai sehingga
berani memberitahukan kelemahankelemahan kita. Hasilnyapun kita bisa melakukan
pembenahanpembenahan internal maupun external yang justru akan meningkatkan
reputasi paket kita ke depan ke arah sebuah perubahan yang lebih baik.
Kita butuh langkah aksi bukan visi yang hanya dihabiskan
diatas pentas panggung orasi. Jadi pemimpin itu tidak perlu orang pintar
berteori, perlu orang yang mau bekerja untuk rakyatnya dengan caracara yang sederhana,
cerdas, kreatif dan inovatif. Intinya adalah bagaimana bisa membaca kebutuhan
rill rakyatnya dengan cara yang sederhana, tanpa mengabaikan kearifan kultural
lokal. Bukan hanya berteori dan bermainmain dengan angkaangka statistik. Namun
semuanya kembali berpulang pada masingmasing individu dalam menyikapi persoalan
ini.
Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Sebab keberhasilan adalah
sebuah ukuran yang dibuat oleh orang lain. Sedangkan kepuasan adalah ukuran
yang dibuat oleh diri kita sendiri. Bertolak dari kalimat ini mari kita
tinggalkan sebuah keharuman nama layaknya “harimau
mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama, namun malah
sebaliknya, belum mati saja sudah meninggalkan belangnya”, aneh kan??. Walaupunn akhirnya akan ada
kearifan local yang menyatakan “tak ada
gading yang tak retak”, dalam
bentuk pemberian maaf dari rakyat kepada pemimpinnya. Insyaallah tak akan
terjadi melainkan sebuah bentuk pujian nyata atas kesuksesannya.
Marilah kita bergandengan tangan
menujuh sebuah tujuan yang pasti
demi sebuah perubahan secara universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar