Selasa, 09 Juli 2013

RENUNGAN TENTANG MUTASI DAN PELANTIKAN PEJABAT DAERAH



Mutasi dan pelantikan pejabat structural merupakan hal yang biasa dan perlu dilakukan untuk suatu promosi jabatan yang bertujuan untuk penyegaran dan pembinaan karier. Sehingga dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam memberikan pelayanan prima untuk masyarakat,”, sehingga dinamika kehidupan dalam organisasi pemerintahan berjalan baik. Pelantikan adalah untuk menjawab sebuah kebutuhan organisasi, namun harusnya tetap mengedepankan dan mempertimbangkan kemampuan, kompetensi dan kinerja aparaturnya secara selektif. Untuk meningkatkan profesionalisme, pelayanan public dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui sebuah evaluasi yang selektif dan professional sesuai aturan yang berlaku. Demi terciptanya kerjasama, integritas, dedikasi, loyalitas, dan komitmen untuk mewujudkan visi dan misi Pemerintah Daerah.
Mutasi dan pelantikan pejabat structural adalah hak Prerogatif Bupati, tetapi sebagian besar dari hasil mutasi itu adalah penggodokkan Tim Baperjakat. Sedangkan tugas dari Baperjakat adalah memberikan pertimbangan kepada Bupati agar pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; Pelaksanaan seleksi dilakukan berbasis kompetensi dan dilakukan secara obyektif, akuntabel dan sesuai dengan kebutuhan organisasi, tanpa mengabaikan aturan yang berlaku. Sesuai standart minimal Kepegawaian yaitu serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan; Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan; Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan; yang telah di verifikasi; Sehat jasmani dan rohani melalui tahapan pengujian kesehatan.
Namun dalam pelaksanaanya di daerah tidaklah demikian. Mengapa sampai pada saat ini PNS masih terintimidasi oleh penguasa. Mari kita buka kembali file lama peninggalan Orde Baru, dimana seorang PNS sangat terintimidasi oleh kepentingan politik tertentu, sehingga tingkat loyalitasnya sudah bergeser menjadi “monoloyalitas” pada kepentingan kekuasaan, sehingga PNS dijadikan anggota dan pengurus sebuah partai dari tinggkat pusat sampai pada daerah. Puncaknya PNS mendapat predikat baru “Korban Pemilu” bagi mereka yang membangkang dan tidak mau bergabung pada parpol tertentu. Saat Orde Baru tumbang maka monoloyalitas pun mulai terputus, dengan lahirlah Undangundang nomor 43 tahun 1999 yang menyuarakan kebebasan PNS untuk tidak lagi berafiliasi kepada parpol tertentu tapi harus bersikap netral. Belum lagi bernafas lega PNS kembali di intimidasi dengan berbagai cara dengan lahirnya undangundang nomor 32 tahun 2004, yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung.
Tekanan politik semakin bertambah keras dan lebih kejam lagi apabila yang akan bersaing dalam Pilkada adalah “incumbent”. Calon “incumbent” yang akan bersaing dalam Pilkada akan selalu mengadakan 2(dua) kali pembersihan dalam jajaran birokrasinya yaitu sebelum dan sesudah Pilkada berlangsung dengan melakukan mutasi PNS dan pelantikan pejabat struktural. Sasarannya sudah dapat dipastikan adalah mereka yang dianggap tidak mendukung dirinya. Akibatnya adalah terjadinya konflik interest, stress, frustrasi, dan apatis bagi PNS dalam melaksanakan tugasnya, maka akan timbul saling mencurigai dan saling lapor antara satu PNS dengan PNS lainnya. Profesionalitas PNS hilang, mulai terpuruk dan mati suri, yang muncul dipermukaan adalah para PNS yang tidak memiliki kemampuan dan prestasi kerja tetapi memiliki kemampuan koneksifitas yang tinggi atau kerennya adalah “penjilat”. Jelas mutasi dan pelantikan ini semakin bergeser dari visi dan misinya. Profesi, kompetensi, akuntabilitas juga efektifitas dalam meningkatkan profesionalitas semakin sekarat. Yang ada Cuma koneksifitas. Jika mau maju dalam karier, sisanya pembunuhan karakter dan karier bagi yang idealis dan yang bertahan dalam kebenaran prinsip.
Maka tak lagi heran jika di daerah kembali lahir gelar baru yang lebih modern dan trendi “Korban Pilkada”. Ibarat lepas dari cengkraman harimau masuk kembali ke dalam terkaman mulut buaya. Ahhh layaknya memakan buah simalakama, bagi mereka yang idealis, kompetitif, akuntabiliti dan professional, dalam mempertahankan diri, karier dan juga demi meningkatkan jabatan yang lebih tinggi dalam sebuah persaingan yang tidak lagi sehat. Semakin frustrasi, stress, cuek, apatis dan pasif dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Hasilnya bisa kita tebak dengan pasti bahwa peningkatan produktifitas semakin menurun, baik dalam tingkat loyalitas, profesi, etika dan moral. Sampai kapan Negara ini bebas dari saling memperalat dan memanfaatkan demi pencitraan dan kekuasaan diri sang penguasa. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Tidak ada komentar: