kejahatan timbul karena bukan saja
orang tersebut berhati jahat, tapi karena adanya kesempatan. hilangnya
kemampuan mengambil jarak dari halhal yang bersifat sistemik, budaya yang
mengakar sebagai perilaku kolektif, rendahnya moralitas, alpa dalam kemampuan
berpikir rasional, kritis yang berlandaskan hati nurani sebelum bertindak atas
nama orang banyak. kejahatan itu jauh lebih dramatis, romantis dan vulgar
ketika dilakukan oleh orangorang yang sadar telah bertindak jahat tapi masih
merasa hanya menjalankan sesuatu yang lazim terjadi di lingkungannya. kejahatan
yang dianggap wajar hanya karena menjalankan perintah atasan “the
banality of evil”. suatu kondisi di mana kejahatan terjadi pada skala
massif, dipraktekkan sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, dan sistematis,
hampir sama sekali tidak melibatkan rasa bersalah.
negara ini telah carut marut dilanda
tsunami politik kotor, skandal suap, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang
tiada henti selalu menerjang dan menghantam seluruh sendi-sendi kehidupan
bernegara. segalah sesuatu dilakukan atau disaksikan sebagai sebuah kewajaran,
dengan hanya mengelus dada karena telah dianggap sebagai bencana bukan sebuah
ketidakwajaran. unsur pemerintahan tak lagi merasa risi ketika melakukan
pungutan liar, menilap uang rakyat, atau menyalahgunakan jabatan. justru merasa
asing jika tidak melakukannya karena hampir semua orang di sekitar
melakukannya. Para pemimpin politik juga semakin tak ragu-ragu menunjukkan
dirinya sebagai orangorang yang hidup dari politik, dan bukan orangorang yang
hidup untuk politik (Max Weber). Term dana politik yang begitu identik
dengan praktek percaloan anggaran, penguasaan atas proyekproyek pemerintah,
jualbeli pasal perundangundangan guna melindungi kepentingan pengusaha yang
menjadi donatur partai, dan lain-lain.
mati rasa terhadap kejahatan politik
juga terjadi dalam masyarakat elite, lawyer, akademisi, dan intelektual yang
berperan sebagai konsultan, peneliti dan para pakar. dimana mereka “tidak
pernah melihat problema akuntabilitas kinerja” dengan nurani dan
moralitas tapi lebih melihatnya dari
sudut pandang “profesionalisme” dalam
melayani kliennya. demikianpun
peran dunia pers dan media masa mempunyai kecendrungan yang sama, tidak secara
spartan melihat akuntabilitas, rekam jejak, secara berimbang. dikalangan akar
rumput dan kaum kecil hanya mampu mengelus dada yang sesak karena: pungutan
liar yang kian marak dan terus terjadi, buruknya pelayanan publik, lemahnya
perlindungan terhadap kaum miskin membuat masyarakat lebih bersifat pragmatis,
apatis terhadap politik dan menerima keadaan itu sebagai sebuah kewajaran bagi
mereka yang memegang kekuasaan pada semua lini dan level pemerintahan.
kondisi “the desert worl” (Hannah
Arendt) dimana sebuah tatanan pemerintahan yang hampir semua unsurnya tidak
lagi mampu meratapi dan melawan penyelewengan terhadap esensi politik
(pengabdian, pelayanan, pembebasan dan kejujuran). cuek, mati sudah rasa
bersalah, terusik datau marah jika hakhaknya di zolimi, suap, korupsi dan
penyelewengan dengan menghibur diri yang penting bukan saya, tidak merugikan
saya, atau biarlah siapa tahu saya juga dapat sedikit remahremahnya.
kunci sukses untuk keluar dari gurita
banalitas kejahatan politik yang membelit adalah ketajaman pedang hukum dan
keberanian aparatur untuk mengeksekusinya. sebab konfidensi timbal balik para
pelaku banalitas kejahatan selalu menjaga kerahasiaan kolektif yang
memungkinkan satu kelompok mengikat anggotanya untuk saling menutupi kesalahan dengan
kelompok lainnya. maka sangatlah mustahil jika kita berharap para politikus
atau pejabat publik mengungkapkan skandal di sekitarnya karena terikat untuk
menjaga kerahasiaan kolektif. berani berati tergusur dari klan, diganjar
pemecatan, recall atau dijadikan kambing hitam sendirian. disisi yang lain
masyarakat juga berani berkata tidak untuk memilih mereka yang jejak rekamnya
sangat buram baik dalam hubungan sosial, politik, dan idiologi. sebab
hakikatnya politik adalah solidaritas politisi antara warga negara dalam
menyelesaikan masalah bersama secara rasional, adil, diskursif dan tanpa
pemaksaan. esensinya adalah kemampuan untuk bersikap kritis terhadap keadaan,
mempertimbangkan hati nurani, dan menomorduakan kepentingan diri ketika
menjalankan fungsi-fungsi publik. disinilah kita sedang menghadapi krisis akut
pada tataran ini. politik semakin lekat dengan penguasaan dan manipulasi, semakin
jamak diselubungi motif privat: memperkaya diri dan membangun popularitas
pribadi. para politikus dan pejabat publik tak pernah otentik sebagai manusia
politik karena selalu memposisikan diri sebagai instrumen dari suatu sistem,
tak peduli apakah sistem itu bersih, legitimate, atau sebaliknya.
masyarakat harus diingatkan, politik
bukan sekadar pemungutan suara lima tahun sekali, tetapi juga bagaimana hasil
pemungutan suara itu dikontrol sehingga benar-benar bermanfaat bagi pemegang
hak suara. korupsi, kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil, eksploitasi
sumber-sumber daya alam yang sangat tidak adil, terjadi karena masyarakat hanya
berdiam diri, hanya menyerahkan mandat dan tidak pernah benarbenar memeriksanya
ke tangan orangorang yang ternyata terjun ke politik lebih karena motifmotif
privat.