dalam kegalauan, langkahku limbung
bahkan tak bisa berjalan sendirian, tanpamu
harapku senyum genitmu memapahku
dengan kecupan hangatmu sibuk
membantuku,
luruskan kesepian yang merasuki langkah
namun pintu malam terbuka menatapku iba
seolah mengukur seberapa jauh rasamu,
merasuki jiwaku
masih saja namamu melingkar damai di jantungku
namun kekeliruanmu memilih rupiah dengan
sintal tubuhmu
karena penderitaan jadikan nabi yang
paling kau takuti
habis, untuk membunuh rasa syukurmu
menjauhlah hikayat lumpur
yang memahat tubuhmu dalam ingatan
seperti aku mengingat comberan becek
selokan kota
disanalah tawamu selalu terjerembab sepanjang musim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar