Rabu, 06 November 2013

KEJAHATAN POLITIK (BANALITAS POLITIK)



kejahatan timbul karena bukan saja orang tersebut berhati jahat, tapi karena adanya kesempatan. hilangnya kemampuan mengambil jarak dari halhal yang bersifat sistemik, budaya yang mengakar sebagai perilaku kolektif, rendahnya moralitas, alpa dalam kemampuan berpikir rasional, kritis yang berlandaskan hati nurani sebelum bertindak atas nama orang banyak. kejahatan itu jauh lebih dramatis, romantis dan vulgar ketika dilakukan oleh orangorang yang sadar telah bertindak jahat tapi masih merasa hanya menjalankan sesuatu yang lazim terjadi di lingkungannya. kejahatan yang dianggap wajar hanya karena menjalankan perintah atasan “the banality of evil”. suatu kondisi di mana kejahatan terjadi pada skala massif, dipraktekkan sebagai sesuatu yang otomatis, spontan, dan sistematis, hampir sama sekali tidak melibatkan rasa bersalah.
negara ini telah carut marut dilanda tsunami politik kotor, skandal suap, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang tiada henti selalu menerjang dan menghantam seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara. segalah sesuatu dilakukan atau disaksikan sebagai sebuah kewajaran, dengan hanya mengelus dada karena telah dianggap sebagai bencana bukan sebuah ketidakwajaran. unsur pemerintahan tak lagi merasa risi ketika melakukan pungutan liar, menilap uang rakyat, atau menyalahgunakan jabatan. justru merasa asing jika tidak melakukannya karena hampir semua orang di sekitar melakukannya. Para pemimpin politik juga semakin tak ragu-ragu menunjukkan dirinya sebagai orangorang yang hidup dari politik, dan bukan orangorang yang hidup untuk politik (Max Weber). Term dana politik yang begitu identik dengan praktek percaloan anggaran, penguasaan atas proyekproyek pemerintah, jualbeli pasal perundangundangan guna melindungi kepentingan pengusaha yang menjadi donatur partai, dan lain-lain.
mati rasa terhadap kejahatan politik juga terjadi dalam masyarakat elite, lawyer, akademisi, dan intelektual yang berperan sebagai konsultan, peneliti dan para pakar. dimana mereka “tidak pernah melihat problema akuntabilitas kinerja” dengan nurani dan moralitas tapi lebih melihatnya dari sudut pandang “profesionalisme” dalam melayani kliennya. demikianpun peran dunia pers dan media masa mempunyai kecendrungan yang sama, tidak secara spartan melihat akuntabilitas, rekam jejak, secara berimbang. dikalangan akar rumput dan kaum kecil hanya mampu mengelus dada yang sesak karena: pungutan liar yang kian marak dan terus terjadi, buruknya pelayanan publik, lemahnya perlindungan terhadap kaum miskin membuat masyarakat lebih bersifat pragmatis, apatis terhadap politik dan menerima keadaan itu sebagai sebuah kewajaran bagi mereka yang memegang kekuasaan pada semua lini dan level pemerintahan.
kondisi “the desert worl” (Hannah Arendt) dimana sebuah tatanan pemerintahan yang hampir semua unsurnya tidak lagi mampu meratapi dan melawan penyelewengan terhadap esensi politik (pengabdian, pelayanan, pembebasan dan kejujuran). cuek, mati sudah rasa bersalah, terusik datau marah jika hakhaknya di zolimi, suap, korupsi dan penyelewengan dengan menghibur diri yang penting bukan saya, tidak merugikan saya, atau biarlah siapa tahu saya juga dapat sedikit remahremahnya.
 kunci sukses untuk keluar dari gurita banalitas kejahatan politik yang membelit adalah ketajaman pedang hukum dan keberanian aparatur untuk mengeksekusinya. sebab konfidensi timbal balik para pelaku banalitas kejahatan selalu menjaga kerahasiaan kolektif yang memungkinkan satu kelompok mengikat anggotanya untuk saling menutupi kesalahan dengan kelompok lainnya. maka sangatlah mustahil jika kita berharap para politikus atau pejabat publik mengungkapkan skandal di sekitarnya karena terikat untuk menjaga kerahasiaan kolektif. berani berati tergusur dari klan, diganjar pemecatan, recall atau dijadikan kambing hitam sendirian. disisi yang lain masyarakat juga berani berkata tidak untuk memilih mereka yang jejak rekamnya sangat buram baik dalam hubungan sosial, politik, dan idiologi. sebab hakikatnya politik adalah solidaritas politisi antara warga negara dalam menyelesaikan masalah bersama secara rasional, adil, diskursif dan tanpa pemaksaan. esensinya adalah kemampuan untuk bersikap kritis terhadap keadaan, mempertimbangkan hati nurani, dan menomorduakan kepentingan diri ketika menjalankan fungsi-fungsi publik. disinilah kita sedang menghadapi krisis akut pada tataran ini. politik semakin lekat dengan penguasaan dan manipulasi, semakin jamak diselubungi motif privat: memperkaya diri dan membangun popularitas pribadi. para politikus dan pejabat publik tak pernah otentik sebagai manusia politik karena selalu memposisikan diri sebagai instrumen dari suatu sistem, tak peduli apakah sistem itu bersih, legitimate, atau sebaliknya.
masyarakat harus diingatkan, politik bukan sekadar pemungutan suara lima tahun sekali, tetapi juga bagaimana hasil pemungutan suara itu dikontrol sehingga benar-benar bermanfaat bagi pemegang hak suara. korupsi, kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil, eksploitasi sumber-sumber daya alam yang sangat tidak adil, terjadi karena masyarakat hanya berdiam diri, hanya menyerahkan mandat dan tidak pernah benarbenar memeriksanya ke tangan orangorang yang ternyata terjun ke politik lebih karena motifmotif privat.

Tidak ada komentar: