aku juga tak pernah mengerti
mengapa cintaku tumpah dihatimu
jujur yang aku tahu
ku mengenalmu,
seperti air yang memadamkan api
dingin, sejuk, teduh, dan lembut
sisahkan kepulankepulan rindu, juga bara cinta
dingin, sejuk, teduh, dan lembut
sisahkan kepulankepulan rindu, juga bara cinta
namun perpisahan ini selalu menggelar jarak
tapi aku akan setia mengantar rindu ke beranda hatimu
tapi aku akan setia mengantar rindu ke beranda hatimu
menenangkan gelisah hatimu
agar kesepian dan kesedihan tak erat
memelukmu
sebab kita telah membangunnya dengan kuat
Malam
sehari sebelum berangkat kotamu dalam menjalankan tugas, kita habiskan waktu berbagi
lewat telepon seluler tentang rindu, keinginan untuk kembali menggali kenangan,
juga cinta yang sekarat didera kesepian. Katakata purba yang tak akan pernah
kehilangan makna pun kembali terucap “aku kangen kamu beib” “aku cinta kamu
sayang” “benar aku sangat rindu” aku juga kangen sayang lalu berjuta kata
mengalir dalam obrolan panjang yang tak pernah usai tentang segalah rencana
kita ke depan, tak lupa menginggatkan “ agar mengabari jika sudah tiba” di
akhiri ucapan selamat malam “ met bobo sayang,.. have a nice dream beib”.
Dinihari,
nada sambung khusus buatmu bordering. Setelah ku angkat ucapmu “beib bangunlah
sayang, cepat mandi biar tidak terlambat pesawat”. Aku akan menyiasati hari agar
kita bisa bersama tanpa gangguan aktifitas apapun, telponlah aku bila tiba,
kalau bisa aku akan menunggumu di stasiun beib. Lekaslah berkemas sayang. “ia
sayang”, jawabku “aku berkemas dulu ya sayang”.
Pagi yang dingin,
ketika embun masih mengunci lelap kantuk. Namun waktu telah mengetuk pintu, padahal
penatku belum lunas setelah semalam lelah
mengemas wajah rindu di mimpiku. Satusatu kenangan terus berlari menyapa,
merapatkan selimut hati yang menghangatkan wajah teduhmu, dalam dekap bawah
sadarku sebagai muara tempat kita menerima jarak. Saat tiba di bandara El Tary
Kupang semilir bayu mengoda punggung ilalang, kelembutannya memagut jiwa
melepas senyum di sela deru burung besi di landas pacu menujuh Jakarta yang
senantiasa menyodorkan petualang tempat singgah jiwajiwa kesepian dimana
aktifitas tak akan pernah tidur. Selalu bising.
Seperti
biasa sapa lembut pramugari senior mulai memberi arahan sebagai suar sebentar
lagi pesawat akan meninggalkan landas pacu menujuh tujuan, sambil menebar
senyum. Senyum yang mulai menggodaku
dalam bayangbayang wajahmu. Jujur kalau bukan karena rindu, bayangmu tak pernah
ku ajak berkelana ketika bumi mulai kehilangan jangkauannya.
Saat
keluar dari kebisingan cengkareng, jalan masih terpeta jelas dengan bayang
bayang akasia penuh debu, tegak bersaing rumah kaca dan menara beton tegak
dendangkan madah luka kehidupan social di bawahnya. Taksi pun di kebut. Knalpotnya
selalu membagi timbal berlomba dengan waktu, diantara hiruk pikuk dan pekik
klakson ketika kemacetan kembali menjerat. Teriakan anakanak jalanan berbaur
dengan pengais rejeki di lampu merah bersaing riuh dengan mentari yang garang
membakar ubunubun dalam detak waktu yang senggamahi hidup, hingga taksi pun
merapat ke penginapan.
Setelah
usai menjalankan tugasku, hari ini kita akan bercerita tentang sua, dimana
sebuah pertemuan yang paling hangat di hati selalu menghantui, jerit keluh
tentang mimpi yang belum juga rabun. kamu akan menemuiku hari ini. Dengan debar
gelisah. Segelisah detak jam tua di gerbang Pasar Baru Jakarta. Anganku kembali
menerawang, kilas balik pertemuan dulu. Selalu saja waktu tak pernah cukup untuk
mengisi angan dan rencana dalam ruasruas jalan yang meninggalkan mimpi di ruang
sunyi. Tempat aku menanam kenangan ketika sua kita tempo hari di rorompok. Kenangan
yang selalu memeram letupanletupan kerinduan, hingga matang dalam penantian. Lalu
kembali perpisahan datang bertandang. Ahhh kita selalu menyembunyikan kenangan
di balik airmata kebahagiaan. Disanalah tempat merajut kerinduan, agar bisa di
rekat pada peta pertemuan. Tempat manghangatkan kesepian juga kerinduan yang
mengigil.
Menunggumu
dengan dada penuh debar. Jujur bangku yang ku duduki lebih menikmati
kegelisahan hatiku. Sebab bayangmu seperti tertelan dalam kebisingan rutinitas ibukota
yang gemuruh. Wajahku mengambang dalam genangan kerinduan. Ahhh betapa jarak
ini seperti racun yang menyesakkan dada. Selalu merasuki jiwa. Ada getir
kecemasan tergurat di kening hari yang risau, dalam menautkan risalah hati.
Betapa tidak. Taksi yang mengantarmu terlalu tua, hingga selalu aku mengutuk
waktu yang lambat di selah gaduh aktifitas siang yang begitu riuh. Laiknya perasaan
gelisahku yang membunuh rinduku, dalam melontar kabar lewat pesan singkat
selulerku. Aku mendadak kesepian di tengah keramaian. Di dalamnya aku melahap
gelisahku yang membadai di balik dada yang mekar menanti kembang cinta yang kau
bawah untukku.
Disela
lamunan dan kegelisahan hatiku. Selulerku kembali memberi sinyal dari sebuah
pesan masuk “ beib. Ku terjebak kemacetan, sekarang lagi menujuh tempatmu”. Harupun
mulai sesaki dada, berebutan tempat
dengan bahagiaku. Kini aku bisa tersenyum. Mengingat loronglorong yang pernah ku titipkan
mimpimimpi indahku di dadamu. Dan saat ini aku telah menjemputnya. Saat yang
teramat indah. Saat yang sangat menentukan hubungan kita ke depan.
Hari ini jelma
seribu warna pelangi dalam hidupku. Betapah tidak. Kunikmati kerinduan ini
dalam isyarat cinta penuh debar. Laiknya rintik embun pada putik rose liar
setelah kemarau meranggaskan pucuknya. Sambil menggengam jemari tanganmu, kita
melangkah menyusuri loronglorong kehidupan ibukota, loronglorong yang kelak menjadi
kenangan kita.
Di
temani alunan musik sambil menunggu makan siang, kita berbagi cerita tentang kerinduan
yang padat, menemani waktu yang merambat. Sesekali jemari kita saling memilin
dan memuara dalam binar tatapan yang penuh sipu.
Senja
bergelayut manja dalam dekap lengan cakrawala. Demikianpun kamu selalu manja
bergelayut dilenganku. Harihari yang kita lalui bersama selalu penuh gairah. “Beib
aku bahagia banget bisa bertemu dengan mu dan memilikimu”, maukah kamu berjanji
untukku, berjanji untuk tidak meninggalkanku” katamu. “Sayang bukankah hari ini
kita bersepakat untuk membangun kehidupan cinta kita ke depan. Dengan cinta
yang tak pernah terpisahkan?”. kataku sambil menatap matamu dengan penuh
ketulusan cinta. Dan ikrar itupun mulai mengalir dalam nadi kita. Beib tak akan
ada seorangpun bisa mencuri rasa kebahagiaan ini. Karena rasa itu selalu ada
dalam ruang hati yang penuh rasa syukur. Dalam pengertian tanpa standar apapun.
Rasa yang senantiasa mengirim doa untuk menerangi langkahmu, dengan
kerinduankerinduan yang paling puisi dalam hidupmu. Selamanya ia memilih
berumah di hatimu dengan cinta dan setianya yang abadi.
Waktu
berlalu begitu cepat. Tak terasa. Perpisahan itu kembali datang bertandang.
“Aku salah, jika mengira air mataku telah kemarau setelah puas menenggelamkan
suka cita atas ikrar ku untuk berlabuh di dermaga hatimu. Aku kembali salah
menafsirkan. Bahwa airmataku telah
kering dan aku tak akan pernah menangis lagi. Sebab jarak juga interval waktu
yang membelengguku begitu lama, bisa menjadikanku kuat. Tapi ternyata tidak.
Aku rapuh. Kau tahu, aku jatuh. Jatuh tersungkur oleh keangkuhanku, di atas jiwa
seorang lelaki yang berusaha untuk tegar. Aku telah meminum asinnya airmataku
sendiri dengan dahaga yang amat sangat.
“Beib
aku ga kuat, aku ingin menangis”, katamu sambil menyusupkan wajahmu ke dadaku.
“Menangislah beib bila itu membuatmu sedikit lega”, kataku mengecup keningmu
sambil memelukmu semakin erat dengan harap agar kamu kuat. Padahal diriku
sendiri tak juga cukup kuat menahan beban ini. “Sayang. Aku akan menangis
hingga terkuras seluruh airmataku dari dalam telaganya, agar kelak tidak akan adalagi
airmata, jika saat seperti ini kembali
datang bertandang.
Sedihpun
mulai sesaki dada, berebut tempat dengan bahagia. Ku genggam tanganmu semakin
erat. Reflex kamu memelukku semakin ketat, isyaratkan tak mau berpisah. Ku tahu
perpisahan ini sangat berat bagimu, terpeta jelas dari gigil tubuhmu, juga
getar dadamu menahan isak. Ketika tiba di terminal bus yang mengantarmu pulang,
sebelum berangkat dirimu turun terakhir kali. Lalu memeluk dan mencium ku, entah itu untukku
atau untuk perpisahan itu sendiri. Kemudian pergi. Lewat buram kaca jendela bus
atau mataku yang mulai meretaskan airmata, atas perpisahan ini ku lihat dirimu
masih galau. Ku masih berdiri di sisi gerbang terminal, melambaikan tangan
untukmu dengan getar perasaan yang aku sendiri tak pernah tahu, apa itu untuk
dirimu atau perpisahan itu sendiri. Sebab yang ku tahu hanya sebuah rasa
kehilangan yang amat sangat. Diri mu semakin jauh lalu lenyap ditelan jarak.
Tapi bayangmu, suara dan tangismu terus terdengar di sekelilingku. Sampai saat ini.
1 komentar:
Perasan itu selalu mengikuti ku kemana pun aku pergi...aku ga mampu lagi berpisah dari mu...aku ingin selalu bersama mu selamanya....
Posting Komentar