Sabtu, 30 Juli 2011

GALAU HATI


aku masih saja tak memahami
jawaban dalam hujan tanya di hati ku
ketika kepergianmu laiknya pekik camar tak berumah kata
kini waktu sendirilah yang mengajariku
menelan sejemput keinginan
tentang perjumpaan yang melahirkan perpisahan
dalam memintal jalinan rapuh tanpa sedikitpun keraguan
yang menjeratku dalam kegelisahan hati

disini aku mengenangmu
saat kopi senja tersaji di beranda
debar gelisah melumatku dalam jerat rindu
ketika senja membuka gerbang malam
senyummu masih terendap dalam lamunan
saat kau lukis rasa pada lembaran purba
memang hidup tak hanya mengenal cinta
tapi luka,rindu juga asa hadirkan banyak pelangi
ketika resah tertiup bayu yang terikat keyakinan

Minggu, 24 Juli 2011

MAAFKAN AKU


berteduh  pada taburan rindumu
setelah bertapa sepanjang pengembaraan
dalam menganyam kesetiaan pada cahaya rembulan
juga mengeringkan keraguan pada mentari retak selepas mimpi
tak perduli kelam hiasi bingkai malam
pun pada harihari tak terpecik nokta kesedihan
kecuali indahnya harap yang selalu mekar
pada asa yang tersimpan dalam dada
dimana harihari kita penuh tawa tanpa duka
lalu saat ini aku harus memilih

jika diharuskan memilih,
biarlah aku mulai dari saat menapak
ketimbang sekarang saat hati telah terpaut
dan aku harus hianati sebuah persahabatan demi rasa cemburu juga cinta
setiap menyaksikan canda riang tanpa dusta
sementara aku harus tulus mengatakan sesuatu yang tak bisa ku katakan
sebelum rahang ini melumatku dalam sebuah kegelisahan hati
aku mohon jangan kau tikam gelisah ke dalam debar dada

jujur telah ku labuhkan biduk harap
pada dermaga cinta tempat rinduku bertumpu
erat tertaut pada helai kalender yang luruh mengalir
meski semuanya tak bermuara pada musim semi
tapi saat ini tak ingin ku memaku pigura bahagia
bila dinding akan menerima lukanya

aku akan biarkan beribu putaran waktu tergilas
sejatinya kebersamaan adalah segala saat
dimana doa dan tarian tasbih makin bermakna
meski kamu akan mengeleng karena memilih bau cintaNya
tapi aku tak pernah takut karena cinta ku telah kuselipkan dihatimu
maafkan aku yang amnesia tentang cintamu
namun jujur aku juga phobia kehilangan sahabat

SANG KELANA


deru kehidupan tak pernah berujung pada tapal batas cakrawala
kerinduannya  menyelinap di antara lapisan mega
selalu menggapai kendati tak pernah bermakna
dalam sepi mengelar di antara resah jarak
berbagai  catatan terpuruk di antara sisa jejak
tak ada kelu juga ratap meski elegi berdesah
karena kesedihan sejati fana adanya  

jika ambang esok sisa mimpi bakal lagi hadir
harap selalu mekar  walau tak lagi berkuntum cinta
bukankah mata air selalu bergemercik di sela tebing
meski tak semua perjalanan anaknya sampai muara
hari-hari berpacu tak gamit lintas musim dan cuaca

SANG PENABUR


aku hanya pengembara renta tanpa peta
yang berkelana di sepanjang persimpangan musim
dimana musim tak pernah mengenali kehidupannya sendiri
sebab keresahan tak bedanya dengan hembusan bayu
jika dimaknai diluar bingkai perasaan
karena dari senggamanya mereka tumbuh
bagai parasit yang menggerogoti inangnya
bersemi bagai kembara dalam belukar

jujur  kehidupan selalu berlubuk airmata
meski alirnya menganak sungai, memalsukan sejarahnya sendiri
hingga lahirkan uban dikepala tanpa mekar asa
karena kelamnya tergurat jelas di kening pagi
sebab sesungguhnya kehidupan itu sendiri adalah pengorbanan

saat ini kemarau hidup menggagahi kehidupanku sendiri
bisikan nestapa pada permukaan ladang berdebu
selalu memeta letih pada pelupuk mata
ranggaskan kehidupan yang mendekap keluh dada
jika hidup ini adalah penakluk kegarangan
maka lembar asa tak pernah alpa memeta senyum
meski ikhlas tak pernah jemu di semai
aku masih saja tak letih taburkan benih rindu lewat jemari renta

Sabtu, 02 Juli 2011

SIMPANG HIDUP



jika kerlip malam mulai jumawa
menyapa debu juga asap kendaraan berbagi timbal
dimana bulan dan bintang tak lagi terlihat
dalam lengkung malam
sebab asap pabrik memenjarakannya dengan paksa
terbayang rotasi waktu juga aktifitas yang melahap raga
tak perduli kasta pun pranata tanpa jeda

tak adalagi siulan bocah pengembala
juga tawa riang gadis pemetik padi
yang ada hanya tawa taruna temani tante tajir
juga jerit genit dara saat digoda rupiah pada ranjang hotel
yang lebih menjanjikan deretan mimpi ketika belia dulu

saat tak ada lagi waktu menoleh kabut saat pagi
dari balik huma ketika hamparan halimun
menyelimuti gunung dengan genit
sebab kemarau hidup merubahnya menjadi garang
tak perduli suatu saat semburkan magma badai