menyibak kabar. sontak denyut nadi terhenti. dingin
dada ini terasa nyeri. padahal derai tawamu
belum juga pupus dari gendang telingaku
sungging senyummu masih berembun meski mentari telah
sepenggal
embun yang mengaliri poripori daun. membuatnya tetap
hidup
begitu cepat cahaya menjemputmu.
padahal perkacapan kita tak pernah ending. selalu
saja baru
menjadi saksi betapa kentalnya kita, dalam dialog
seperti kentalnya kopi yang kita sukai.
tanpa gula
sebab disana terlalu banyak kenangan manis
yang teraduk
keintiman yang mengakar ,dalam cinta yang
platonik
selorohmu selalu unik namun enerjik
dalam kesederhanaan menghadapi kenyataan
memahami mu seperti santa yang membagikan
kebahagiaan natal
pada anakanak gelandangan di kota. yang lupa siapa ayah dan ibunya
bersahabat dengan mu layaknya dengan
pengamen dan pemulung
selalu tunduk ketika di puji. selalu melapangkan
dada
jika kritik menikam ulu hati. tanpa
kemunafikan.
tahukah kamu. didadaku tertanam seulas senyummu
senyum purnama yang selalu terbit. tak perduli itu mendung
tahukah kamu. Tuhan tak sabar menunggumu
menunggumu duduk makan bersama dalam perjamuanNya yang kudus
maafkan aku yang munafik. hanya bisa melihat hitam warna hidupmu
tanpa merasakan putihnya hatimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar