menyusuri tepian petak ladang, seakan sampai pada keheningan alam yang sempurna, sesekali terdengar lenguh kerbau juga siulan kecil seruling bambu bocah pengembala.Diantara pekik riang dara pemetik padi saat panen. Disitulah rumahnya berdiri kokoh, berdinding pelepah gewang (*1) bercat putih, bersih dan elegan, berdiri di belakangnya mengangkangi sungai kecil tanpa tepi, dibawah teduh pohon beringin juga lontar yang subur tumbuh berpagar aneka puring dan kembang liar lokal yang tertata juga aneka unggas yang tentram berdamping dengan ternak lainnya.
aku datang lagi ke rumah itu pagi ini dan di suguhi segelas kopi hitam penghangat pagi yang beku, di temani sepiring singkong rebus. Sambil mengisap rokok lintingannya yang tinggal setengah. Dia menyapaku menyuruh menikmati suguhan istri tercintanya, sambil terus merokok. Asap mengepul tipis melalui wajah tuanya. ia amati tanahnya yang luas berselimut rumput hijau. mata kecilnya sedikit terpicing saat terdengar lenguhan dari salah satu ternaknya yang setia menemaninya.
rokok yang di linting dengan daun lontar itu sudah hampir mendekati bibir keriputnya, namun ia belum juga beranjak dari duduknya. mata tuanya lalu menerawang, menatap langit pagi membiru tanpa awan putih. lalu matanya menukik tajam ke sebatang pokok kayu kering dimana sedang bertengger se ekor elang tropis, di bawahnya tanah gersang hanya, di tumbuhi sedikit perdu, pohon duri kayu putih dan beberapa batang lontar yang juga menjadi sumber hidupnya selama ini.ada begitu banyak batu hitam keabuabuan yang akhirakhir ini menarik perhatian banyak pihak. ia tahu dengan baik batu itu jenis apa. Bentuknya yang sangat khas seperti kue solo* (Kue cucur) ada yang gumpalan kecil sebesar kepalan tangan. Bentuk yang mengundang berjuta-juta dollar. mata uang yang tak pernah ia lihat seperti apa bentuknya. setidaknya itu yang ia dengar dari bisikan mereka yang mampir ke gubuk tuanya.
Lama Ba’i (*2) Ande merenung. Lalu berkata padaku, “apakah anak juga sama seperti mereka yang datang kah?” sambil terus mengisap rokok lintingannya. Kataku “aku tidak tahu ba’i punya maksud apa?,..sambil menunjuk ke gundukan tanah tadi dia berkata “ itu mereka mau gali lubang di sana lalu mau ambil itu batu, na kalau sudah di gali na bagaimana dengan saya punya rumah lai ne. habis itu saya punya hidup di situ saja, aku hanya terdiam merenungi ucapannya,. Kemudian katanya lagi “Ana tahu di saya punya tanah satu di pinggir kali sudah tergantung, itu rumah anak saya yang sudah mau rubuh menindih mereka. Kamu tahu pemerintah siapa yang mau lihat lagi kalau sudah begini. Saya tidak mau uang dolar, saya hanya mau hidup tenang di hari tua saja anak eh, apapun yang terjadi saya akan mati disini, jangan ada yang datang ganggu saya punya milik.
Dia sudah tua. Anakanaknya sudah pada meraih sukses di kota. tak lama lagi kakinya akan mendekati liang lahat. ia berpikir bukankah selama ini tak satupun yang peduli dengannya, bahkan tetangganya jarang mampir. Apalagi pemerintah bahkan pemerintah desa yang terendahpun jarang mampir kalau tidak membutuhkan tenaganya dib alai desa. lalu kenapa kini mereka jadi rajin menyambanginya. Bahkan ada yang nekad membeli tanah tersebut. Ah sebuah perubahan yang terlalu tiba-tiba.
sejenak ia menarik nafas panjang. sepertinya keputusan besar ia sudah ambil masak-masak. cuma satu yang ia inginkan.ia hanya inginkan sisa umurnya seperti sang elang yang bertengger pagi tadi di pokok kayu tua di sudut ngarai . tenang tanpa kebisingan di sisa hidupnya. ahh sebuah keinginan yang sangat sederhana jauh dari imingiming rupiah apalagi dolar.
Ahh aku jadi teringat kata pemimpin negeri ini kemarin waktu pidatonya di depan masyarakatnya sendiri dengan menunjukan sisi positif dari penambangan ini untuk keuntungan masyarakat di sekitarnya, “bapa, mama dong bisa jualan kue, bisa menjadi tenaga kerja di sini, otomatis dapa do’i tambahan untuk bapa mama semua kan??. Sambil sesekali mengurut kumisnya lalu tersenyum simpul. Tapi hari ini baru saja aku di suguhi menu local yang nikmat tapi juga prinsip dan rasa cinta pada lingkungan yang sangat begitu besar dari seorang tua yang sangat sederhana dan tidak pernah menginjakkan kakinya di bangku sekolah.
Seandainya pemerintah tahu akan dampak negatifnya yang begitu banyak bukan sekedar jualan kue dan jadi buruh tambang. Maka kita tidak pernah kehilangan pantai, alam yang indah dan ekosistim yang sudah terbangun puluhan tahun disana dengan baik. Kita juga tidak lagi setiap tahunnya menanggarkan uang ratusan milyar ke jalan jalan raya yang rusak karena bongkar muat hasil tambang yang hilir mudik membagi timbale dan polusi kepada ekosistim di lingkungannya bekerja dan berlalulintas,. Kita juga tidak terkena polusi dari dan limbah dari dampak eksploitasi daerah tersebut. Dan yang terpenting kita juga tidak pernah merusak daerah pertanian, peternakan, juga hilangnya unsur hara, humus dan kompos yang menjadikan tanah itu subur, lalu akhirnya kering kerontang dan berdebu.
Kalau saja setiap orang di desa punya pemikiran yang sama seperti ba’i ande ini maka dampak negative dari penambangan ini bisa di hindari.
keterangan * 1 = Gewang adalah pelepah daun Enau
2 = Sebutan untuk orang tua yang di hargai
bisa di lihat disini bagamana kerugian yang di alami oleh : http://www.berdikarionline.com/opini/20100923/pertambangan-batu-mangan-di-ntt.html
dan bagaimana sikap berbagai elemen masyarakat menolak tambang ini dengan gigih
http://indo.jatam.org/saung-pers/petisi/109-tolak-tambang-di-nusa-tenggara-timur.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar