Kemarin aku bersama temantemanku menghadiri acara peluncuran sebuah buku antologi puisi, karya keroyokan temanteman yang bergabung dalam sebuah komunitas satra, setelah seremonialnya selesai dan sedikit basabasi, akhirnya acarapun bubar, dan kita kembali pada aktifitas masingmasing.
Dalam perjalanan aku sempat terkejut dengan ulah temanku. Tanpa beban dia melempar buku yang baru diluncurkan tadi di kotak belakang jok mobilnya kemudian dia berkata padaku, “malas baca yang ginian”. Aku melongo kemudian berkata, “mengapa capecape kamu ngikutin acaranya sampai rebutan beli bukunya segalah. Kemudian katanya lagi,.. aiihh itu cuman basabasi doing. Sekedar nunjukin perhatian ke mereka bahwa kita perduli, aku terkesima sekalian terkejut. Kemudian lanjutnya, komunitas senikata hanya sebuah opera mini tanpa lakon, mainya keroyokan, numpang tenar, dan mau nunjukin bahwa siapa yang bisa dan tidak, padahal semuannya nol, nggak berbobot, sekarang orang suka ngumpul dan ngerumpi, eit nulisnya harus gini, kalau gini, gimana, aiih itu nggak menggigit, harus diasah, padahal yang ngomong tumpul juga dalam nulis, lantas napa tadi nggak kamu sentil, atau minimal buat dech dalam sebuah karya tandingan, lantas hanya untuk mendapatkan sebuah pengakuan karena tenggang rasa atas hasil karya orang lain, kemudian pulang dan melemparnya di kotak sampah, sebab hasilnya terlalu premature, gitu alasan mu, baiklah bro untuk itu maafkan aku yang tak sepaham denganmu katamu lagi, bagiku sebuah komunitas dapat dibentuk apabila ada saling ketergantungan.
Sedangkan menulis tidak ada ketergantungan kita pada orang lain. Selain inspirasi, suara hati dan imajinasi. Oleh sebab itu komunitas tidak bisa membesarkan seorang penulis. Tetapi yang membesarkannya adalah karyanya. Juga satu hal yang pasti kita hanya meneruskan apa yang pernah tertulis, dengan menatanya lebih baik berdasarkan imajinasi, suara hati juga inspirasi kita, dengan menggunakan aksara yang sama. Tanpa mengabaikan peran dari orang yang menemukan abjad ini. Bukan penulis pendahulu, dengan katakata yang telah berkarat, kita kembali mengolesinya dengan baik agar tampak bercahaya. Juga bisa menikam rasa dan membangkitkan emosi juga jiwa seseorang yg telah mati. Itu saja. Lanjutmu lagi, belajarlah dari pendahulu, nggak ada yang terkenal setelah mereka tiada, barulah karyakarya itu mendapat tempat dihati orang. Aku hanya terdiam dan terus terbawah dalam benakku. Wah eksrim juga temanku ini. Lantas aku yang menggebugebu menulis jadi kekhi sendiri, takutnya bukuku (jika sempat di terbitkan) juga dibuang kekotak sampah kayak yang dilakukannya.
Mohon tanggapannya atas apa yang dipikirkan oleh temanku ini, mungkin dia benar atau aku yang terlalu semangat untuk menulis sehingga tidak bisa berpikir seperti dirinya, semoga ini,.. jujur yang menulis dalam buku itu adalah orangorang yang aku suka puisipuisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar